Isu Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% kembali menjadi sorotan. Kali ini, drama partai politik besar seperti PDIP dan Gerindra turut mewarnai perdebatan kebijakan tersebut. Tweet dari David Mayer menggambarkan situasi yang menarik: bagaimana dua partai besar ini saling serang soal pajak, meskipun keduanya sebenarnya terlibat dalam pembentukan kebijakan.
PDIP dan Peran Panja UU HPP
PDIP dikritik karena dianggap "biang keladi" kenaikan tarif PPN menjadi 12%. Sebagai Ketua Panja UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), PDIP memang memegang peran besar dalam pengesahan undang-undang ini. Namun, dalam perkembangan terakhir, PDIP justru "membalikkan serangan" dengan mengungkit bahwa UU tersebut sebenarnya memiliki mekanisme yang memungkinkan tarif PPN diturunkan hingga 5%.
Pertanyaannya: jika mekanisme penurunan tarif itu ada, mengapa tidak dimanfaatkan? Di sinilah politik masuk ke permainan. PDIP menyampaikan pesan bahwa semua tergantung pada "niat" pemerintah, seolah menunjukkan bahwa pihak eksekutiflah yang harus bertanggung jawab.
Mekanisme Penurunan Tarif PPN
Pasal 7 dalam UU HPP menyebutkan bahwa tarif PPN bisa diatur antara 5% hingga 15%, tergantung pada situasi ekonomi dan kebutuhan anggaran negara. Artinya, jika pemerintah ingin, tarif PPN bisa diturunkan ke angka serendah 5%. Namun, implementasi mekanisme ini membutuhkan keputusan presiden (Keppres) dan dukungan politik DPR, yang tentu saja tidak lepas dari dinamika partai politik.
Gerindra dan Kritik Balik
Gerindra, yang sebelumnya menyerang PDIP, kini menghadapi tudingan balik. David Mayer menyoroti bahwa perdebatan ini lebih banyak bersifat "narasi politik" daripada substansi kebijakan. Dalam konteks ini, PDIP mencoba memanfaatkan posisi sebagai oposisi untuk mendesak penurunan PPN, sementara Gerindra---yang berada di lingkar kekuasaan---terkesan defensif.
Di Mana Posisi Rakyat?
Seperti yang diungkapkan dalam tweet tersebut, rakyat berada di posisi yang lemah dalam sistem ini. Senat (DPD), yang seharusnya mewakili suara non-partisan, diangg
ap kurang efektif. Alhasil, tekanan terhadap kebijakan hanya bergantung pada partai politik, yang sering kali lebih sibuk dengan manuver politik daripada mendengarkan rakyat.