Mohon tunggu...
Oke Dwiraswati
Oke Dwiraswati Mohon Tunggu... Apoteker - Seorang abdi negara, pembelajar sejati, dan berharap selalu dapat memberikan manfaat untuk sesama

Instagram: okedwiraswati98 ; Facebook: oke dwiraswati ; sites.google.com/view/1610-files

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Masih Beli Obat Keras Tanpa Resep? Waspadai Akibatnya

12 Februari 2022   23:29 Diperbarui: 12 Februari 2022   23:38 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pembelian Obat (Sumber: www.freepik.com)

Kebutuhan pembelian obat secara mandiri saat ini semakin meningkat. Terlebih pada masa pandemi COVID-19 saat ini dimana kita sedang menghadapi gelombang ketiga pandemi sejak ditemukannya varian Omicron, pembatasan mobilitas kembali harus dilakukan, sehingga pemenuhan kebutuhan termasuk pembelian obat-obatan lebih banyak dilakukan secara mandiri. Pembelian obat secara online pun seringkali menjadi pilihan karena kemudahan dan keamanan menghindari interaksi sosial.

Namun kita perlu hati-hati, jangan mudah tergiur iklan penjualan obat online karena ada obat-obat yang tidak boleh dibeli secara bebas atau tanpa resep dokter, diantaranya digolongkan ke dalam obat keras.

Dilansir dari laman Instagram resmi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), @bpom_ri, Jumat (28/01/2022), dijelaskan bahwa obat keras adalah obat yang hanya dapat diperoleh dengan resep dokter dengan ciri-ciri yang dapat dilihat yaitu bertanda lingkaran bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam, dengan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi. Obat keras hanya dapat diperoleh di apotek, puskesmas dan fasilitas pelayanan kesehatan lain seperti balai pengobatan dan klinik dengan menggunakan resep dokter.

Ilustrasi Logo Obat Keras (Sumber: Buku Informatorium Obat Nasional Indonesia, 2014)
Ilustrasi Logo Obat Keras (Sumber: Buku Informatorium Obat Nasional Indonesia, 2014)

Mengapa Obat Keras Harus Digunakan Dengan Resep Dokter? 

Obat keras memiliki efek pengobatan yang lebih kuat, sehingga pemberiannya harus melalui pemerikaan dokter terlebih dahulu.

Saat meresepkan suatu obat, dokter akan menyampaikan beberapa informasi sebagai berikut:

  1. Informasi tentang penyakit dan penanganan penyakit yang diderita pasien.  
  2. Informasi tentang obat, mencakup jenis obatnya, manfaat, dan efek pengobatan yang akan dirasakan, kemungkinan risiko efek samping dan gejalanya, dosis dan cara penggunaannya.
  3. Informasi tentang tindak lanjut, misalnya perlunya pemeriksaan tambahan jadwal pemeriksaan selanjutnya dan hal yang perlu dilakukan jika muncul gejala yang tidak diinginkan setelah penggunaan obat.

Selain itu, berdasarkan Buku Informatorium Obat Nasional Indonesia (BPOM, 2014) pada saat menebus obat keras di apotek, puskesmas atau fasilitas pelayanan kesehatan lain, akan ada apoteker atau petugas penyerah obat yang mengkomunikasikan kepada pasien cara yang tepat untuk menggunakan obat melalui informasi mengenai:

  1. Etiket obat yang mencantumkan informasi mengenai nama pasien, nama obat, petunjuk penggunaan obat, tanggal pemberian obat, identitas pemberi resep, dan identitas petugas penyerah obat.
  2. Peringatan dan perhatian terkait penggunaan obat.
  3. Perhatian khusus terhadap kondisi tertentu seperti wanita hamil, pasien yang memiliki gangguan penglihatan dan pendengaran, buta huruf, anak dan pasien lanjut usia dan pasien yang mendapatkan lebih dari satu jenis obat.

Inilah pentingnya pemberian obat keras harus melalui pemeriksaan dokter terlebih dahulu dan pembeliannya pun harus melalui sarana penjualan obat resmi.

Apa Akibat Membeli Obat Keras Tanpa Resep?

Jika membeli obat keras tanpa resep dokter, berpotensi terjadinya penggunaan obat yang tidak rasional, yaitu:

  1. Indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru.
  2. Pemilihan obat tidak tepat, obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis.
  3. Cara penggunaan obat tidak tepat (besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi pemberian dan lama pemberian).
  4. Kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada kondisi yang tidak memungkinkan menggunakan suatu obat, atau mengharuskan penyesuaian dosis atau kondisi yang dapat meningkatkan risiko efek samping obat.
  5. Pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai.
  6. Pengaruh pemberian obat, baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, tidak diperkirakan sebelumnya dan tidak dilakukan pemantauan secara langsung atau tidak langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun