Pada keadaaan saat ini, di era modernisasi yang begitu nyata, di saat kapitalisme menjadi penguasa, kesadaran masyarakat tersandera oleh berbagai manipulasi yang sengaja diciptakan oleh para pengendali kapitalisme. Pada saat ini produksi dijalankan bukan atas barang dan jasa melainkan pada penciptaan kebutuhan. Manusia dipaksa untuk membutuhkan sesuatu atas barang-barang yang dihasilkan oleh mesin-mesin produksi.
Proses terjadinya penciptaan kebutuhan yang akan dirasakan oleh masyarakat pada umumnya terjadi karena saat ini konsep mode of consumption berganti menjadi mode of production. Penciptaan kebutuhan tersebut terjadi melalui institusi media massa lewat iklan yang diyatangkan. Iklan ini mengedepankan kepada produksi penciptaan kebutuhan yang secara tak sadar merasuki pola konsumsi masyarakat. Nilai guna tak lagi menjadi acuan dalam mengkonsumsi barang, tetapi yang dikonsumsi tersebut ialah sebuah “tanda” yang ditawarkan oleh perusahaan iklan yang menawarkan barang hasil dari mesin-mesin produksi suatu perusahaan-perusahaan.
Akhirnya kondisi pola konsumsi di masyarakat yang telah termanipulasi oleh rekayasa penciptaan kebutuhan yang diproduksi oleh advertising menyebabkan suatu ketidaksadaran yang secara alami merasuki benak masyarakat. Apa yang kini mereka konsumsi bukan lagi sebagai apa yang masyarakat butuhkan, melainkan sebuah tanda yang diletakkan dalam barang produksi tersebut, misalnya; gaya hidup, prertise dan lain sebagainya yang membawa masyarakat jika mengkonsumsi barang tersebut merasa istimewa ketimbang manusia lain yang tidak mengkonsumsinya.
Masyarakat seperti di atas biasa disebut dengan masyarakat konsumen. Jean Baudrillard mendefinisikan ini berupa masyarakat yang eksistentinya dilihat hanya dengan pembedaan komoditi yang dikonsumsi. Lebih jauh, masyarakat konsumen dengan budaya konsumsinya melihat tujuan dan totalitas hidupnya dalam kerangka atau logika konsumsi. Hal ini menyebabkan seseorang bukan hanya menguji dirinya saja apakah produk barang yang ia beli sudah sesuai dengan gaya hidup kekinian atau belum, melainkan dirinya juga menguji orang lain melalui membandingkannya dengan dirinya. Inilah satu pola yang sedang terjadi pada msayarakat di era modernisasi dan kapitalisasi saat ini.
Paul du Gay menambahkan fakta bahwa kebanyakan konsumen melalakukan kegiatan konsumsi terutama demi penentuan identitas diri. Dalam hal ini yang menjadi patokan tentu saja trend yang sedang berlangsung dalam masyarakat. Penentuan “siapa aku” atau status diri ditemukan dengan mengkonsumsi produk yang citra luarnya bisa mengangkat derajat identitas diri.
Lalu gejala ini apa kaitannya dengan proses demokratisasi yang terus berlangsung selama ini. Benjamin R. Barber pernah memperlihatkan bagaimana kapitalisme berbentuk budaya konsumerisme membahayakan demokrasi. Dalam makalah Yudi Latif yang berjudul “Requim Dini, Krisis Finansial dan Krisis Demokrasi”, Barber menyatakan bahwa ekonomi kapitalis sekarang, selain membagi dunia ke dalam kubu berada dan tak berada, juga menumbuhkan etos baru. Masyarakat konsumerisme menurutnya akan membenturkan kapitalisme pada demokrasi, sehingga kapitalisme “sepertinya secara harfiah akan mengonsumsi dirinya sendiri, meninggalkan demokrasi dalam bahaya dan nasib warga negara tanpa kepastian”.
Lanjut Barber masih mengacu pada makalah Yudi Latif tersebut, baginya ada empat cara yang dapat menyebabkan peminggiran peran warga negara dalam berdemokrasi; pertama ialah mengkerdilkan konsumen dengan mengedepankan hal-hal yang gampang dan mudah dicapai ketimbang hal-hal yang harus dicapai dengan susah payah; yang sederhana di atas kerumitan, dan yang segera di atas perlahan-lahan. Kedua, memprivatkan warga negara sehingga “aku” berprioritas di atas “kita”. Hal ini membawa pilihan dasar manusia atas kehendak pribadinya bukan menentukan kehendak bersama. Ketiga, pemerekan identitas, menggantikan identitas religious dan komunal dengan merek barang yang dikonsumsi. Keempat, Barber meminjam pemikiran mazhab Frankfurt, kelahiran totalitarianism consumer melalui penyerbuan semua aspek kehidupan manusia oleh korporasi akan mengakibatkan runtuhnya keberagaman dan munculnya totalitarianism baru.
Lantas apa yang akan kita temukan antara pola konsumsi dan proses demokratisasi. Menurut Barber melihat ada satu titik penting, kapitalisme bisa menggerus demokrasi di titik terdalam, yaitu pada individu. Masyarakat demokratis akhirnya dijajah oleh kepentingan interpretatif pasar, kehidupannya diseragamkan, ruang publiknya dirampas dengan privatisasi dan identitasnya digerus ke dalam merek dan logo.
Ketidak tertarikan kalangan anak-anak kota terhadap politik sudah dapat kita lihat dari masalah pola konsumsi yang telah berubah drastic ini. Dengan mengacu pada gaya hidup dan trend kekinian mereka kehilangan kultur aslinya dan masa mudanya telah tercerabut dengan berbagai tanda yang mereka konsumsi. Mereka tak lagi dekat dengan kebutuhan dan kepentingan rakyat luas, pendidikan mereka jadikan sebagai jembatan untuk meraih uang sebanyak-banyaknya demi memperjuangkan eksistensinya di masyarakat dengan mengkonsumsi segala macam tanda yang, pedidikan bukan lagi dipercaya sebagai upaya untuk mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat luas. Inilah satu fenomena yang sedang terjadi di masyarakat, pemuda, masyarakat tanda dan proses demokratisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H