Dirinya masuk ke kamar mandi. Ditutup pintunya rapat-rapat. Membersihkan diri sambil merapikan kembali penampilannya. Sedangkan di luar sana hujan masih saja turun. Kamar yang berada di lantai tiga ini dapat melihat dengan jelas kemacetan jalan karena hujan. Angin dan petir menjadikan hujan menjadi momok yang menakutkan bagi pengguna jalan. Aku melihatnya dari jendela. Dan tanpa sadar sudah hampir satu setengah jam aku berada di dalam kamar. Menikmati indahnya hujan bersama dirinya.
Pintu kamar mandi di bukanya. Dia keluar dengan kaos sedikit longgar berwarna putih dengan gambar Mickey Mouse di depannya. Ku tatap wajahnya, masih menyimpan keceriaan. Diusap-usapkan ramputnya berharap akan cepat kering basah dikepalanya tersebut.
“Masih hujan?” Tanyanya singkat. Ketika ku ingin menjawabnya, dia melangkah ke jendela. Diintipnya dari balik tirai, hujan masih turun bersama angin dan juga petir yang saling bersahutan.
“Di sini saja dulu. Tak usah keluar sekarang!” Pintanya dengan ramah.
Ku ragu dalam hati. Berlama-lama di sini apa tidak akan mengganggu dirinya. Aku diam saja tak memberi jawaban. Dan dia pun kembali memperjelas keadaan. Katanya tak ada lagi tamu yang datang. Hari ini hanya satu. Hanya aku saja. Dalam batin pun aku lega. Artinya aku masih bisa menunggu hujan reda dalam kamar bersama dirinya.
Selanjutnya tak terjadi apa-apa. Setelah membersihkan tubuhku, kami hanya ngobrol-ngobrol saja sambil menikmati kopi sasetan yang dia hidangkan. Sesekali aku mencoba menikmati pancaran matanya. Ku lihat ada sesuatu yang lain dalam dirinya. Di situ aku mencoba menelisik. Namun ia selalu bisa mengontrol keadaan. Dirinya tidak sampai membicarakan sesuatu yang pribadi pada sore itu. Aku mengalah sampai pada waktunya hujan reda.
*
Beberapa hari selanjutnya aku tak berkesempatan mengunjunginya. Kesibukan pekerjaan dan juga kegiatan bersama kawan-kawan lainnya membuat kami tak bertemu kembali. Walau dirinya kadang mengirimkan pesan singkat dengan keahlian bahasanya membuat rasa kangen terhadapnya tumbuh, namun aku tak juga menemukan waktu untuk bersamanya.
Usianya masih muda sekitar 22 tahun. Tingginya sekitar 155 cm. Rambutnya hitam dan panjangnya sebahu. Kulitnya putih. Bibirnya tipis. Cantik untuk seukuran perempuan Indonesia. Bahasanya ramah. Mudah tersenyum. Yang terpenting adalah dari senyumannya tersebut mampu membuat lelaki terlena sampai bisa mengeluarkan kocek kepadanya.
Pertemuanku dengannya tak disengaja. Seorang teman mengenalkannya di sebuah café di daerah Jakarta. Dari situ kami lanjut saling kenal. Sampai suatu hari temanku bilang dia adalah seorang perempuan plus. Aku terkejut mendengarnya. Namun bujuk rayu temanku tersebut mampu memaksa aku untuk menemuinya di kamar kost nya. Dan semuanya menjadi nyata. Aku menidurinya untuk pertama kalinya.
Setelah beberapa kali kencan bersamanya hubungan kami berdua tampak lancar. Bahkan sesekali dia mengajak ku kencan tanpa harus memberinya imbalan. Meskipun begitu aku tak pernah tahu kehidupan pribadinya lebih jauh. Semua berjalan begitu saja apa adanya.
Kini setelah terakhir kali menemuinya, kesibukan pekerjaan membuatku sulit menemuinya meskipun di akhir pekan.
*
Sebuah pesan masuk. Sebelum ku membukanya kulihat jam di pojok kanan atas layar hapeku. Pukul dua belas lewat tujuh menit. Lalu ku buka pesan tersebut. Ternyata pesan tersebut dari dia. Belum sempat ku mengirim balasan pesan tersebut panggilan telepon masuk ke ponselku dari orang yang sama.
Lima menit kami mengobrol lewat telepon. Dia meminta aku segera menemuinya. Pukul setengah satu tepat aku telah siap. Mengendarai motor ku tembus dinginnya jalan Jakarta. Untung sudah tak ada macet pada dini hari seperti ini. Dengan cepat bisa kulalui jalanan dan sampai pada tempat yang kami sepakati untuk bertemu.
Sesekali dalam kencan kami memang dia pernah mengatakan aku adalah lelaki yang berbeda dari lelaki lain yang menjadi tamunya. Meskipun begitu hal tersebut tak pernah kami bahas secara panjang lebar, dirinya selalu saja mampu mengalihkan pembicaraan. Dan aku pun mengikutinya begitu saja.
Dari parkiran kendaraan bermotor aku dapat melihat sosoknya. Memakai sweeter warna merah duduk di tepat di pojok sebuah tempat nongkrong yang buka 24 jam nonstop. Aku menemuinya. Senyumnya masih penuh pesona meskipun sudah jam 1 pagi. Ku tatap matanya, masih memancarkan kecantikan. “Andai saja,” pikirku dalam hati.
*
Aku mengambilkannya minuman ringan dari dalam lemari es. Mendingankan tubuh setelah melawati waktu yang panas. Dia masih bermanja di atas ranjang. Tak kuasa aku menahan bahagia melihatnya seperti itu.
“Sudah hampir seharian kita di atas ranjang berduaan seperti ini.” Dia mengingatkan kembali apa yang telah kita lakukan bersama hari ini. Seperti pengantin baru yang belum pernah melakukan seks sebelumnya kami berdua terlelap dalam nikmatnya hal itu. Seperti melewati malam pertama kami bermanja penuh kasih. Tanpa benang sehelaipun yang menempel di tubuh kami berdua.
“Tak apa, biar kita cepet punya keturunan.” Dia pun tertawa mendengarnya. Tawanya lepas, seperti anak gadis yang tumbuh dewasa. Penuh pengharapan akan dunia barunya. Aku pun naik kembali ke atas ranjang, mendekapnya dan melanjutkan kegiatan kami sebelumnya.
*
Pertemuan dini hari kala itu membuat keputusan yang sangat berarti pada kehidupan kami berdua. Dia meminta ku untuk menjadi pendamping hidupnya. Aku tak mengira. Aku tak sanggup mendengarnya kala itu. Seperti ada sesuatu yang sangat berat menindih kepalaku. Namun air mata dan keinginannya untuk mengakhiri kehidupan lamanya membuat segalanya menjadi sebuah penerimaan tanpa sebuah paksaan.
Dini hari itu dia bilang sudah memutuskan untuk berhenti menjadi seorang perempuan plus. Dirinya melanjutkan setelah bertemu dengan ku yang terakhir kalinya dia selalu menyendiri. Tak ada teman yang menemui dan tak ada tamu yang ia terima. Perjalanan kesepiannya membawa pada satu pilihan, yakni hidup bersama ku.
Aku bertanya, di tengah ramainya tempat tersebut dengan gerombolan anak muda. Botol bir memenuhi meja-meja mereka. Sedangkan di meja kami tak ada apa-apa yang bermakna, hanya ada harapannya malam itu yang begitu didamba. “Kenapa aku?”
Dia menjelaskannya panjang lebar. Rasa nyaman dan bahagia ketika bersama ku. Itu yang selalu dia katakan disetiap akhir penjelasannya. Lelaki lain hanya menganggapnya sebagai perempuan murahan, dia dapat menggambarkannya dari kata-kata mereka yang keluar. Sedangkan dari diriku dirinya menemukan hal lain. Hal yang sulit untuk diungkapkan.
Terakhir dia menyampaikan, dirinya lelah dengan dunia yang menjebaknya selama ini. Keputus asaan karena ditinggalkan oleh lelaki bajingan membuatnya dia masuk dalam lingkaran hitam.
Aku diam dan langsung memeluknya. Ku sampaikan kepadanya untuk menunggu beberapa saat agar semuanya siap. Dunia baru yang akan dijalani.
Sejak pertemuan pertama dengannya aku memang menyimpan sesuatu kepadanya. Walau setelah mengetahui dirinya adalah perempuan penghibur rasa itu mulai goyah, namun rasa itu kembali menguat dengan ketulusan dan tutur bahasanya. Mulai saat itu aku tak menganggapnya sebagai perempuan plus. Rupanya ia sama dengan manusia biasa, yang masih menyimpan kejujuran, ketulusan dan rasa syukur kepada Tuhan. Dini hari itu aku pun bertekad untuk menikahinya. Aku pun berkayikan, meskipun dunia luar memangdang kehidupannya penuh kehitaman, tapi menurutku dunianya ialah hal terputih diantah hitamnya dunia ini.
*
Butuh beberapa hari untuk mempersiapkan sebuah pernikahan. Hal yang terberat adalah menyakinkan diriku untuk menerima keadaannya yang dahulu. Walau berat aku selalu mempelajari untuk menerimanya. Toh bukan masa lalu yang akan kuhadapi, tapi masa depan yang akan kita lewati.
Dengan acara seadanya aku membawa keluarga ku ke rumahnya. Pernikahan pun berlangsung dengan sederhana. Dengan disaksikan beberapa teman dan juga saudara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H