“Tak juga kau bangun beranjak pergi tahlilan ke rumah Haji Uci?” Perintah Ibuku. Haji Uci pagi tadi meninggal dunia, meninggalkan dua orang isteri dan 4 orang anak. Namun, waktu ia meninggal, Haji Uci berada di rumah isteri pertamanya. Lastri sangat sabar merawat suaminya tersebut, meskipun dirinya dahulu pernah dikhianati oleh almarhum Haji Uci dengan mengawini janda muda kampung sebelah. Lastri, merupakan perempuan sepertiga malaikat, penuh kasih sayang ia terhadap suaminya.
“Nanti dulu lah Mak, adzan isya pun belum, kenapa Emak sudah menyuruhku berangkat ke rumah Haji Uci?” Masih terlalu awal untuk hadir ke acara tahlilan jika berangkat sebelum adzan isya. Belum ada tetamu, paling hanya sanak saudara yang sudah hadir di kediaman almarhum.
Tahlilan merupakan sudah menjadi bagian dari kampung kami, jika ada yang meninggal dunia. Diharapkan doa-doa yang kami panjatkan mampu meringankan orang yang meninggal dunia tersebut untuk menapaki kehidupan di alam selanjutnya. Jika tidak percaya akan hal tersebut, para pemuka agama selalu mempersilahkan kami meninggal terlebih dahulu, lalu doa-doa dipanjatkan, dan sampailah keringanan kepada kami yang didoakan.
Kali ini giliran Haji Uci yang mencoba keampuhan tradisi kami. Doa-doa kami semoga saja mampu membuat Haji Uci lebih tenang dan bahagia di alam yang baru. Haji Uci sangat dihormati di kampung kami. Sebagai juragan yang kaya akan tanahnya, banyak warga kampung yang menjadi buruh tani baginya. Haji Uci pewaris tunggal dari kegelimangan harta orang tuanya. Dia anak satu-satunya. Hidup dengan begitu banyak harta, kadang Haji Uci terlihat sombong dan tamak, namun itu tak berarti apa-apa bagi warga kampung. Yang terpenting ialah bahwa Haji Uci mampu menjadikan kami pekerjanya, dan kami pun mendapatkan penghasilan untuk mengisi kebutuhan sehari-hari.
Lastri ialah isteri pertamanya. Diawal pernikahannya, mereka berdua lama sekali diberikan seorang anak. Ini kadang membuat Haji Uci gelisah. Hartanya yang melimpah, kiranya akan diwariskan kepada siapa jika ia tak segera memiliki keturunan. Terdengar di kalangan warga, bahwa penyebab dari itu semua adalah kesalaha Lastri, karena tidak bisa memiliki janin di dalam rahimnya. Lastri pasrah, di dalam kecantikannya, ternyata dirinya memiliki kelemahan, dan itu sangat membuat suaminya gelisah. Jadilah, Haji Uci berniat untuk menikah lagi.
Digadang-gadang menikah dengan gadis remaja nan cantik, Haji Uci malah menikah dengan janda beranak dua. Meskipun masih terlihat cantik dan menawan, namun banyak yang menyanyangkan langkah dirinya. Dengan kekayaannya, menurut warga sekitar, sebenarnya Haji Uci mampu membeli anak perawan manapun. Namun, semua praduga itu salah. Janda beranak dualah yang ia pilih. Lastri saat itu terlihat tegar, karena dirinyalah yang dianggap sebagai penyebab menikahnya kembali sang suami. Ikhlas sembari berdoa itulah caranya satu-satunya.
Tak lama menikah kembali, Haji Uci semakin gelisah. Penyesalan tampak dari rona kesombongannnya. Dia mengetahui, bahwa isteri pertamanya kini sedang mengandung. Sedangkan, janda yang baru saja ia kawini kerap kali gagal memberikan kenikmatan pada dirinya. Bagaimana segara memiliki keturunan, sedangkan ia merasa kecewa setiap menggauli isteri keduanya tersebut. Diantara hal tersebut, ternyata malah Lastri yang diberikan kuasa oleh Gusti Allah untuk segera memiliki anak. Dalam benak Haji Uci, ia menyesal dan seandainya saja ia dahulu lebih sabar terhadap Lastri.
Setelah berjalan bertahun-tahun akhirnya Haji Uci memiliki dua anak dari Lastri, sedangkan dari pernikahan keduanya ia tak memiliki anak kandung. Yang ada hanyalah anak tiri yang ia besarkan sampai dirinya menemui ajal. Lastri terlihat sangat tegar, ia memaafkan suaminya yang mengawini janda ketika ia sedang bersusah payah untuk memiliki anak, dan juga menerima Minah yang dianggapnya sebagai saudara sendiri setelah menjadi madunya. Lastri bersyukur, setelah suaminya menikah lagi dengan Minah, ia malah diberikan anak oleh Tuhan. Itulah yang menyebabkan warga kampung sangat menghormati Lastri.
“Udan, orang-orang sudah pada lewat untuk segera kumpul ke rumah Haji Uci? Kenapa kau masih diam saja!” Emak ku kembali menunjukkan kecerewatannya.
“Iya Mak, Udan akan ikut tahlilan.” Jawabku.
“Solat dulu sana?”.
“Iya Mak, Udan solat dulu.”
Setelah solat aku pun jalan menuju rumah Haji Uci. Di sana sudah kumpul para kerabat dan tetangga. Makanan-makanan ringan telah disediakan oleh pihak tuan rumah untuk menemani tahlilan malam ini. Di ruangan utama, ku melihat banyak orang tua dan juga sesepuh, diselingi oleh Ustadz Iwan yang pandai mengucapkan kalimat-kalimat kitab suci untuk memimpin acara tahlilan dan selametan di kampung kami. Nyaris tak ada yang tak hadir di tahlilan kali ini. Semua laki-laki keluar untuk mendoakan Haji Uci agar ruh nya selamat di alam selanjutnya.
Yang selalu saja terjadi di acara ini ialah kepulan asap kretek. Beruntunglah Haji Jamhari, temuannya tersebut menjadi pembuka di acara penuh nuansa religi. Aku mulai menduga-duga kenapa kaum lelaki yang menjadi wajib di kampung kami hadir di tahlilan ataupun acara syukuran apapun. Ternyata kreteklah yang menjadi alasannya. Asap kretek diharapkan agar para leluhur kami yang telah terselamatkan mampu membawa ruh yang baru saja meninggal untuk mengikuti jejaknya. Semoga saja, Haji Uci mampu mendapatkan pertolongan dari para ruh leluhur, selain karena doa-doa suci yang dipanjatkan isteri pertamanya, Lastri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H