Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye Hitam Menjelang Pilpres

28 Mei 2014   22:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:01 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Proses demokratisasi bangsa ini menjelan pemilihan presiden beserta wakilnya berada dalam titik nadir. Ini dapat terlihat dari begitu banyaknya isu-isu yang tidak benar beredar di masyarakat terkait kandidat yang akan bertarung nanti. Fitnah-fitnah hampir mengisi hari-hari konstituen menjelang pilpres berlangsung pada 9 Juli nanti. Yang paling sering mendapatkan serangan-serangan kampanye hitam ialah Jokowi. Dirinya kerap kali dituduh sebagai umat Kristen dan juga keturunan Cina. Ini sungguh hal yang tidak wajar terjadi dan berkembang di negeri yang majemuk ini. Memalukan sekali, calon pemimpin membiarkan prajurit-prajuritnya menyerang lawan politiknya namun tidak berdasarkan fakta yang benar bahkan kerap kali membuat fitnah. Lantas kenapa hal ini dapat terjadi?

Banyak yang salah kaprah terhadap proses demokratisasi selama ini. Pada saat ini, demokrasi hanyalah dianggap sebagai proses procedural pergantian kekuasaan yang sah. Ini sungguh merupakan hal yang blunder dan menciptakan kondisi politik di tanah air menjadi tidak nyaman. Dengan hanya menganggap demokrasi sebagai sebuah proses pergantian kekuasaan semata para kontestan melakukan berbagai macam upaya untuk dapat menaklukan lawan-lawan politiknya.

Menurut Adnan Buyung Nasution, Demokrasi bukan hanya cara, alat atau proses, tetapi adalah nila-nilai atau norma-norma yang harus menjiwai dan mencerminkan keseluruhan proses kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Demokrasi bukan hanya criteria di dalam merumuskan cara atau proses untuk mencapai tujuan, melainkan tujuan itu sendiri pun haruslah mengandung nilai-nilai atau norma-norma demokrasi. Tegasnya demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus kita bangun terus menerus sebagai suatu proses yang pasti akan memakan waktu.

Pada hakikatnya, perkembangan demokrasi modern adalah masalah melindungi kebebasan dan hak individual masyarakat dari tindakan sewenang-wenang para penguasa. Fungsi utama dari tatanan politik yang demokratis adalah menjamin dan melindungi wilayah kebebasan individu, yakni menjamin hak individu untuk menjalani kehidupan menurut pilihannya masing-masing.

Selain itu, demokrasi juga menempatkan individu manusia sebagai pusat perhatian pemerintahan demokratis. Individulah dan bukannya konsep-konsep transcendental-Tuhan, misalnya-yang merupakan pusat perhatian dari, dan ukuran untuk, tatanan demokratis.

Kedua hal tersebut membuat kita semakin bertanya-tanya, apakah hal tersebut dapat terwujud apabila calon pemimpin yang membiarkan prajuritnya melakukan manuver-manuver kotor dalam berkampanye untuk menyerang lawan politiknya? Jawabnya sangat mungkin tidak. Hal ini dapat terjadi, karena selama masa kampanye saja calon pemimpin dan para pembantunya tersebut sudah mengebiri keidentitasan lawan politiknya bagaimana mungkin dirinya nanti jika berkuasa akan dapat menjaga hak-hak individu untuk menjalankan kehidupannya berdasarkan apa yang mereka yakini benar.

Inilah yang seharusnya para elit hindarkan dari keterjebakan isu primordial. Jika pun memang Jokowi memang seorang Kristen dan keturunan Cina apakah dirinya lantas tidak boleh menjadi seorang pemimpin? Tentu saja hal ini sangat dibolehkan oleh konstitusi kita selama ia masih berkewarganegaraan Indonesia. Yang menjadi persoalan ialah Jokowi ialah seorang muslim dan ia keturunan asli Jawa. Dirinya mendapatkan fitnah bertubi-tubi dari lawan politiknya yang bertujuan agar dirinya tak terpilih nanti menjadi seorang presiden.

Muhammad A.S. Hikam menyatakan bahwa kultur feodal yang masih sangat kuat bukan saja tak dapat ditransformasikan menjadi kultur demokratis, tetapi malah menjadi sarana ampuh bagi penyaluran kepentingan-kepentingan politik. Akibatnya sistem patrimonialisme malahan berjaya dalam praktek, sementara demokrasi malah menjadi bahan olok-olok karena dianggap asing. Masih banyak dari sebagian orang memanfaatkan mobilisasi dari kesetiaan-kesetiaan primordial yang memang masih ampuh dalam masyarakat transisi seperti Indonesia.

Tak dapat dipungkiri, yang terjadi belakangan ini adalah bergolaknya kembali politik identitas yang dengan mudah menggantikan politik ber kewarganegaraan dan wawasan kebangsaaan. Merajarelanya gagasan seperti ini, maka akan sangat rentan sekali terjadinya gesekan-gesekan yang dibungkus dengan identitas primordial.

Kampanye hitam yang mengedepankan isu SARA dan fitnah belaka sangat mengganggu kerukunan warga negara Indonesia. Hal ini terjadi lantaran kepicikan yang dimainkan oleh para elit dan mereka membiarkannya terjadi. Sungguh Indonesia tidak membutuhkan orang-orang seperti itu menjadi pemimpin dan berkuasa. Semoga apa yang diterima oleh Jokowi selama ini dapat membuat kita belajar, betapa mudahnya kita memaafkan kelicikan dan keserakahan orang-orang yang ingin berkuasa dan mengalahkan kita. Semoga kerukunan bangsa ini tidak pernah rusak oleh orang-orang dan partai politik yang mengedepankan fitnah dan SARA.

#SaveRI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun