Kini sudah 17 tahun reformasi berjalan. Alih-alih ingin menciptakan negara yang lebih mengedepankan kemakmuran dan kemajuan untuk rakyatnya, reformasi justru semakin tenggelam dalam masa-masa suram pemerintahan Orde Baru. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa lebih enak jaman Pak Harto ketimbang masa setelah reformasi.
Pada masa kini kaum reformis dianggap gagal mengambil sebuah keputusan yang tepat setelah penggulingan Orba. Salah satunya ialah dipilihnya sistem demokrasi kepartaian yang justru akan menimbulkan kebangkitan kaum Orba dengan memanfaatkan demokrasi. Setelah reformasi ada begitu banyak partai baru yang bermunculan. Partai tersebut bukan hanya dari kalangan kaum reformis melainkan juga ada dari kaum Orba yang belum kehabisan akal untuk terus menguasai republik ini.
Partai politik dan berbagai macam LSM yang bermunculan setelah reformasi menandakan bahwa bangsa ini telah memasuki era baru. Namun sayangnya era baru tersebut belum juga membawa perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat luas.
Partai politik yang seharusnya menjadi penyambung lidah rakyat baik di eksekutif maupun di legislatif justru sebaliknya. Mereka melupakan rakyat begitu cepat. Lebih cepat dari rusaknya spanduk yang mereka pasangkan di pohon-pohon.
Airlangga Pribadi dalam “Sepuluh Tesis tentang Kepemimpinan dan Demokratisasi” menyampaikan apa yang dipikirkan oleh Giovanni Sartori mengenai partai politik. Bagi Sartori partai politik memiliki peran penting untuk menjaring dan menjadi jembatan antara kehendak publik dan proses-proses pengambilan kebijakan di level negara. Kehadiran partai politik diharapkan menjadi mediator dan katalisator dari kekuatan masyarakat sipil. Partai politik juga harus memiliki hubungan yang dinamis, pro-aktif dan transformative dengan masyarakat. Inilah yang selama masa kekuasaan Orba tidak ada dan begitu dirindukan oleh masyarakat selama ini.
Rakyat tidak bisa lagi melihat kelahiran partai politik sebagai tujuan untuk menjaga keutuhan bangsa dan memperjuangkan kepentingan nasional Indonesia melalui jalan demokratis. Kelahiran partai politik bukan lagi sebagai alat perjuangan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat yang dituangkan pada UUD 1945.
Partai politik pada masa kini justru meniru ulang kekuasaan rezim Orde Baru. Keberhasilan mendobrak rezim otoriter masa Soeharto justru ditiru ulang oleh para petinggi partai politik yang ada saat ini. Aktivitas partai politik yang ada saat ini justru menjadi manifestasi dari kehendak personal elit partai. Kader-kader politik hanya bekerja untuk menjalankan kepentingan elit-elit politik bukan lagi menyampaikan aspirasi-aspirasi masyarakat untuk dijadikan kebijakan politik melalui partai politik.
Rakyat harus kembali berpikir ulang tentang keadaan ini. Banyak yang memanfaatkan demokrasi ini untuk kepentingan pribadi dan golongannya semata. Demokrasi selama ini hanya menghasilkan kemiskinan dan ketidakadilan yang berkepanjangan lantaran para pemimpinnya hanya sibuk mengedepankan kepentingannya semata.
Kini partai politik yang memiliki peran penting dalam perkembangan politik dan demokrasi telah berada diluar koridornya. Sama-sama kita ketahui, partai politik pada saat ini sudah tidak lagi menjembatani aspirasi rakyat dalam menyuarakan kehendak mereka dalam aktifitas pembuatan peraturan dan perundang-undangan yang baru di level Negara. Hal ini terjadi lantaran karena partai politik hanya menganggap demokrasi sebagai sistem procedural dan mekanisme perebutan kekuasaan saja. Komunikasi yang terjalin antara partai politik dan masyarakat hanya terjadi menjelang pemilihan umum.
Mungkinkah akan lahir masa berakhirnya sistem multi partai di tanah air? Karena sistem multipartai yang sedang kita jalankan saat ini setelah reformasi malah membuat rakyat semakin kebingungan. Selain melahirkan oligarki kekuasaan dikalangan internal partai saat ini juga pada perjalanan pemerintahan yang tampak terombang-ambing karena begitu banyaknya kepentingan yang dimainkan yang berujung pada aspirasi-aspirasi rakyat yang progresif tidak tersampaikan untuk dijadikan kebijakan politik melalui partai politik.
Pada saat ini rakyat tak hormat lagi pada aparat negara dan simbol-simbol kekuasaan. Aktivitas politik dianggapnya hanya sebagai sebuah tontonan sampah yang tak memiliki arti apa-apa malah hanya akan menimbulkan penderitaan yang kian menambah. Reformasi tinggal kenangan yang hanya meninggalkan kebebasan berpendapat, namun tetap tak merubah apa-apa dalam kehidupan nyata rakyat. Kemiskinan tak lagi bisa diukur melalui data-data resmi yang disampaikan oleh pemerintah.
Sudah begitu lama rakyat diabaikan oleh penguasanya sehingga mereka semakin bingung mau berharap kepada siapa lagi. Mahasiswa, rakyat miskin kota, buruh, dan tani akankah bersatu kembali turun ke jalan menuntut sebuah perubahan yang lebih tertata rapih yang tidak terburu-buru dalam mengambil sebuah tindakan agar tidak terjebak seperti para pendahulunya dan tentunya harus lebih dahulu mengenal siapa sebenarnya musuh-musuh mereka.
Akankah Jokowi menjadi tumbal dari sebuah sistem yang sudah mulai membuat rakyat bosan dan menderita? Entahlah tak aka nada yang tahu kedepannya seperti apa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H