Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan dan Senja Untuk Aku dan Ayah

19 Februari 2015   21:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:52 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dikala hujan memang waktu yang paling tepat untuk memuja-muja masa lalu. Siapapun yang terjebak pada masa seperti itu pasti tak akan mau untuk beranjak pergi, meski hanya sedetik saja. Begitupun apa yang kini sedang dirasakan oleh Darto, seorang konglomerat yang kini menjabat sebagai salah satu petinggi di daerahnya. Bisnisnya maju pesat, keluarganya tak kekurangan apapun yang mereka inginkan. Tinggal tunjuk, maka sudah barang tentu keinginannya bakal terwujud.

Sukses di dunia usaha, membawanya dekat dengan panggung politik. Awalnya hanya iseng semata. Sekedar ingin melihat, tanpa ikut terlibat. Namun seiring berjalannya waktu, ia berhasil dibujuk oleh rekan seusahanya untuk terlibat lebih jauh dalam dunia perpolitikan. Lobi-lobi antara dirinya dan para petinggi partai di daerahnya membawa dia dicalonkan menjadi seorang Wali Kota. Tentu bukan jabatan yang ia cari, melainkan ialah untuk melindungi dan melipatgandakan dunia bisnisnya agar mudah mendapatkan akses sebagai mitra pemerintah. Semua tender dimenangkan kepada anak usahanya. Kerap kali ia terjebak pada cara penggelembungan anggaran pemerintah daerah. Hasilnya ia bagi-bagi kepada rekan-rekannya. Segingga membuatnya aman dari jeratan hukum.

Anak dan isterinya sangat bahagia melihat dirinya bergelimangan harta. Sanak-saudara pun diajaknya masuk dalam lingkaran kehidupannya. Semua bahagia dengan apa yang ia capai. Hidup dalam kemewahan.

Namun kini ia sedang menikmati hujan. Sendiri dalam ruangannya, menghadap jendela. Pemandangan yang jauh ke depan, membuatnya tanpa sadar masuk dalam pada satu arena kerinduan. Ya, sebuah kerinduan. Rupanya, hujan kali ini membuatnya ia takut arti kehilangan yang sesungguhnya.

*

Di Jakarta, Raras banting tulang untuk segera menyelesaikan kuliahnya. Waktunya semakin habis untuk bekerja paruh waktu pada salah satu perusahaan makanan cepat saji yang buka selama 24 jam di dekat bilangan kampusnya. Ia hidup mandiri, setelah mengerti apa arti kejujuran dalam memimpin.

Aktifitasnya di kampus membawa dia masuk ke dalam masalah besar dalam hidupnya. Kenikmatan-kenikmatan yang selama ini ia rasakan dari jerih payah orang tuanya ternyata sebuah kenikmatan palsu semata. Ia tak mau lagi menerima kenikmatan itu semua. Ia menolak jerih payah orang tuanya dalam memberikan kehidupan pada dirinya. Ia menghindar, jarang sekali ada kontak antara dirinya dengan keluarganya di kampung halaman.

*

“Kamu bengong lagi? Kenapa! Ayo ceritalah.” Husin tiba-tiba masuk ke dalam lamunan panjang Raras. Di sebuah taman kampus. Rumput yang hijau. Bangku-bangku tersusun melingkar di bawah lebatnya pohon tua yang terawat. Mereka berdua duduk di sana sedari tadi. Tak banyak bicara. Raras hanya terdiam. Merenung. Tak ada yang tahu dirinya sedang melarikan diri kemana dalam lamunannya. Begitupun dengan Husin yang sedari tadi di sampingnya. Diam.

“Sudah setengah jam kita di sini. Kamu belum bicara satu kata pun.” Husin melanjutkan. Seraya menjelaskan kebingungannya sore itu. Awan kemerahan sudah mulai menghiasi langit sore. Matahari dikit lagi terbenam. Lalu lalang mahasiswa semakin panjang. Mereka ingin segera pulang. Berbeda dengan mereka berdua. Masih duduk, tanpa kata.

Raras menoleh sesaat menatap wajah Husin. Memperhatikan sejenak apa yang sedang dirasakan pria yang ada di hadapannya kali ini. Masuk jauh ke dalam dua bola matanya. Ia hanya melihat kejujuran dan ketulusan dari pria yang ia cintai sudah hampir dua tahun belakangan. Dirinya begitu mencintai Husin. Begitupun sebaliknya, ia merasakan Husin sangat mencintainya.

“Kamu kenapa menatapku begitu lama?” Tanya Husin di saat kekasihnya begitu lama menatapnya. Dikeluarkan selembar kertas kosong dari dalam tas Raras. Dituliskan sesuatu olehnya. Husin pun membacanya, “kita pergi malam ini, kemana saja hanya berdua.” Husin membacanya, semakin bingung ia dengan kekasihnya.

*

Di Solo hujan semakin menjadi. Darto masih termenung di dalam ruang kerjanya. Ia perintahkan kepada pengawal pribadinya agar tak ada yang masuk ke dalam ruangannya. Telepon genggamnya pun sengaja ia matikan agar isterinya tak mengganggu lamunannya kala itu. Ajudannya setia menunggu di depan pintu, kadang juga menjawab panggilan dari isteri bosnya tersebut. Ia jelaskan kepadanya, bahwa semua baik-baik saja. Pak Darto hanya tidak mau diganggu beberapa saat.

*

Sampai sudah Husin dan Raras di kawasan puncak Bogor. Matahari sudah tenggelam syahdu dalam peraduannya. Mereka berdua tiba di sana dalam keadaan langit telah gelap. Hamparan kebun teh yang hijaupun kini sulit terlihat. Mereka berdua hanya menyaksikan kerlipan lampu-lampu yang menghiasi suasana puncak malam itu. Sepi, tak seperti diakhir pekan. Puncak semakin dalam memasuki keheningan mereka berdua.

“Apa yang mau kau sampaikan malam ini?”

Raras masih saja diam, tak juga mengeluarkan kata-kata. Begitupun selama perjalanan tadi, Husin sibuk memacu sepeda motornya, sedangkan kekasihnya yang membonceng asik dalam lamunannya, sambil mendengarkan musik-musik pilihannya.

Husin menyodorkan teh hangat kepada Raras. Teh asli puncak, yang masih terasa alami. Rasa sepet yang menyerang lidah meskipun telah diaduk dengan gula membuat teh ini berbeda dengan teh-teh lainnya. Raras meneguknya secara perlahan. Sembari menikmati sensasi teh tersebut.

“Sudah dua tahun kita berhubungan Sin”, Raras akhirnya membuka mulutnya untuk berbicara. Telapak tangannya mendekap tangan Husin dengan penuh cinta. Air matanya turun perlahan. Kini bergantian, Husin tak berkata sepatah katapun. Menunggu kalimat selanjutnya yang jatuh dari bibir tipis yang sangat manis dari kekasihnya tersebut.

“Maafkan aku, aku telah membohongimu.”

Husin kebingungan, pertanyaan-demi pertanyaan hadir dalam benaknya. Ada apa dengan kekasihnya. Ia dibohongi. Bohong tentang apa. Apakah cinta yang diberikan oleh Raras selama ini adalah kebohongan semata. Malam itu tiba-tiba ia takut. Takut kehilangan orang yang sangat ia cintai. Meskipun cintanya hanya kebohongan.

Buru-buru Raras mengusap kening Husin. Mengecupnya sekali. Ia tak mau peduli dengan orang yang melihatnya kala itu. Ia hanya ingin jujur kepada kekasihnya. Membuka semua kegelisahannya selama ini.

“Bukan tentang cintaku kepadamu.” Husin terlihat lega, ia kini tak perlu takut lagi. Namun, ia masih bertanya-tanya, apa yang ingin disampaikan kekasihnya kali ini. Raras melanjutkan, “Selama ini aku membohongimu tentang kehidupan keluargaku Sin.”

*

Raras kembali teringat tentang ayahnya. Seorang pejabat yang kini menjadi penguasa yang sukses. Bergelimangan harta. Dengan cara-cara yang menurutnya tak berpihak pada kejujuran. Ia membenci cara-cara ayahnya dalam memimpin. Itu ia simpan rapih di Jakarta. Di tempat ia kini mengeyam pendidikan. Uang kiriman dari keluarganyapun tak pernah ia gunakan. Ia mencari nafkah sendiri. Untuk biaya kuliah, dan kehidupan sehari-hari. Meskipun harus hidup secukupnya.

Beruntung ia bertemu dengan Husin. Tepat di mana ia merasakan hari-hari yang begitu asing. Mereka berdua kerap kali jalan bareng. Sampai Raras membohongi Husin terkait permasalahannya. Lalu diajaknya oleh lelaki yang kini jadi kekasihnya untuk bekerja paruh waktu di tempat yang sama dengan dirinya. Lambat laun, merekapun resmi berpacaran, menanggung beban kehidupan secara bersama.

Husin hanya tahu bahwa Raras berasal dari keluarga sederhana. Kiriman dari orang tuanya tak juga cukup untuk menyambung biaya hidup sekaligus kuliah di Jakarta. Ia tak tega melihat perempuan sendirian berjuang seperti itu. Husin mengajaknya bekerja, kadang penghasilannya pun disimpan untuk kepentingan perempuan tercintanya tersebut. Kuliah, berdiskusi dan malamnya bekerja, mereka lewati bersama.

*

Berita besar tersiarkan malam itu secara langsung dari balai kota. Darto secara mengejutkan melakukan jumpa pers mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Wali Kota. Ia menyakinkan kepada publik hal ini bukan terkait permasalahan politik yang menimpanya. Ini terjadi karena ia tak ingin lagi kehilangan waktu bersama anak-anaknya. Terutama anaknya yang telah lama memutuskan untuk tak berbicara dengannya. Tak ada tanya jawab malam itu. Darto langsung kembali kerumahnya.

*

Pagi menjelang, Raras mengetahui kabar tersebut dari lobby hotel mereka menginap. Dirinya sangat terkejut. Ia ambil telepon genggamnya. Menelpon sang adik di kampung sana, sekedar memastikan. Adiknya menjelaskan panjang lebar. Termasuk keadaan ayahnya yang saat ini masih menyendiri di kamar.

“Coba Mbak bicara saja langsung kepada ayah.” Pinta adiknya. Tanpa menjawabnya Raras pun mematikan telepon tersebut tanpa pamit terlebih dahulu.

Nasihat Husin semalam terlintas dalam pikirannya. Segera kembali, melepas semua dahaga kebencian, memaafkan dengan penuh keikhlasan, dan memulai dengan cerita baru. Tanpa ada rencana nasihat tersebut muncul berbarengan dengan pengunduran diri ayahnya. Tuhan menjawab semuanya.

*

Ia bawa Husin ke rumah yang membesarkannya. Dua tahun belakangan rumah tersebut tak pernah memiliki rasa. Hanya adiknya yang beberapa kali memberanikan diri mengobrol dengannya. Selebihnya tidak ada. Selama itu, Raras hanya mampu berdiam beberapa jam di rumah tersebut. Sekedar bertatap muka di saat hari raya. Setelahnya, ia pun memutuskan kembali ke Jakarta. Perang dingin menimpanya selama itu bersama ayah dan ibunya.

Kini semua telah berlalu. Ayahnya telah menelponnya untuk meminta maaf dan meminta dirinya kembali. Haru tangis menghiasi pembicaraan mereka berdua. Seakan merubuhkan sekat yang selama ini terbangun. Sebagai perempuan, Raras tak mau melihat ayahnya lalim dalam mengemban amanah. Ia melarikan diri dari kehidupan tersebut sembari membuktikan bahwa ia pun sanggup hidup mandiri walau jauh dari itu semua.

Kini semuanya berakhir. Pelukan hangat mengawali dunia mereka yang baru. Kini keluarga merekapun bertambah dengan hadirnya Husin. Lelaki yang menguatkan Raras bertahan selama perang dingin berkecamuk.

“Ini adalah lelaki, yang akan kupinta kalian untuk segera mengawinkannya denganku.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun