Katanya Indonesia negara paling demokrasi setelah Amerika Serikat dan India. Demokrasi di Indonesia juga sedang berada dalam jalur yang benar menuju pencerahan. Setelah reformasi bergulir, lantas bagaimana kita percaya bahwa demokrasi kita sedang dalam jalur yang benar?
Semua sepakat, kiranya demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang kedaulatannya berada di tangan rakyat. Yakni sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun apa daya, demokrasi yang begitu mengagungkan nama Indonesia di dunia internasional, tidak membuat rakyat menjadi berdaya, malah diperdayakan oleh para pelaku penguasa yang mengaku sebagai pemimpin yang dilahirkan melalui jalan demokrasi. Pada saat ini, masyarakat tidak lagi menganggap demokrasi sebagai sebuah upaya untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan sosial. Kini masyarakat hanya menganggap demokrasi bagian dari pemainan kepentingan-kepentingan elit politik saja.
Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta orang. Mereka yang tengah bergelut dengan kemiskinan ialah penduduk dengan tingkat pendidikan dan kesehatan yang sangat rendah, tinggal di daerah terpencil dengan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar, dan mungkin tidak tersentuh berbagai program penanggulangan kemiskinan pemerintah. Selain itu data dari BPS juga menunjukkan sektor pertumbuhan ekonomi selama ini lebih banyak ditopang oleh sektor modern (keuangan, jasa, real estate, transportasi dan komunikasi, dan perdagangan/hotel/restoran. Sedangkan dalam ranah sektor riil, semacam sektor pertania, industry dan pertambangan tumbuh rendah. Lantas, sudahkah demokrasi membawa keuntungan bagi seluruh rakyat Indonesia?
Sudah dikatakan diawal tadi, bahwa demokrasi memberikan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Dalam sistem konstitusional berdasarkan UUD 1945, konsep demokrasi atau paham kedaulatan rakyat itu, tidak hanya dalam bidang politik saja melainkan dalam bidang ekonomi sekaligus. Menurut UUD 45 pasal 1 ayat (2) dan (3) menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Artinya, semua cabang kekuasaan negara dan semua pelaku kekuasaan negara merupakan penyandang kewajiban dan tanggung jawab untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat itu dengan sebaik-baiknya, baik dibidang politik maupun ekonomi.
Apa yang berkembang pada dimensi politik akan mempengaruhi kehidupan dimensi ekonomi. Wujud dari kedua hubungan tersebut ialah dengan lahirnya konsep demokrasi ekonomi. Konsep ini merupakan pencarian dari para pendiri bangsa untuk menemukan sebuah bentuk perekonomian yang tepat dan sesuai dengan karakter masyarakat. Karena itu, konsep demokrasi ekonomi merupakan konsep yang sangat khas dengan kehidupan bangsa dan sangat jarang ditemukan pada kamus ekonomi manapun.
Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta dan Ekonomi Islam” karangan Anwar Abbas, menyatakan “demokrasi politik dan demokrasi ekonomi mendjadi sjarat bagi soeatoe masjarakat jang berdasar keadilan dan kebenaran, jang menjempoernakan tjita-tjita bahwa tiap-tiap rakjat berhak untuk menentoekan nasibnja sendiri.”
Lantas apa yang membuat demokrasi di Indonesia tidak mempengaruhi perekonomian warga negaranya jika pendiri bangsa tersebut sudah memiliki konsepnya sendiri? Pertama, demokrasi adalah sesuatu yang berat, bahkan mungkin bentuk pemerintahan yang paling rumit dan sulit. Banyak ketegangan dan pertentangan, dan mensyaratkan ketekunan para penyelenggaranya agar bisa berhasil. Demokrasi tidak dirancang demi efisiensi, melainkan demi pertanggungjawaban; sebuah pemerintahan demokrasi mungkin tidak dapat bertindak secepat pemerintahan diktator, namun sekalinya mengambil tindakan, bisa dipastikan adanya dukungan publik untuk langkah ini.
Hal ini beriringan dengan apa yang dipahami oleh Adnan Buyung Nasution. Menurutnya, demokrasi bukan hanya cara, tetapi juga tujuan yang harus terus menerus kita bangun sebagai proses yang akan memakan waktu. Sejatinya, demokrasi ialah sebuah upaya untuk merealisasikan kesejahteraan dan keadilan sosial. Bangsa Indonesia telah memiliki konsep demokrasi ekonomi nya sendiri untuk membangun pemerintahan yang berpihak kepada kepentingan seluruh rakyatnya. Namun apa daya, kemiskinan terus berlanjut.
Jauh melangkah kebelakang, seperti mengutip pemikiran Aidit dalam buku Tan Swie Ling, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat setengah jajahan dan setengah feodal. Dari hal tersebut, kita sudah dapat sasaran utama dalam gerakan perubahan yang menjadi musuh bangsa ini, kekuatan pendorongnya, tugas-tugasnya, karakter dan persepektif-perspektifnya.
Terlebih pada masa kini musuh utama kita kaum imperealis sudah menjadi kekuatan besar yang akan terus menjajah bangsa. Yang tak perlu dilupakan juga ialah, diantara kaum imperealis tersebut terdapat anak bangsa sendiri yang menjadi kaki tangan setia kaum imperealis asing. Kaki tangan – kaki tangan ini ada yang memiliki hubungan langsung dengan capital besar asing dan ada juga yang tidak, dan yang tidak memiliki hubungan secara langsung ini mereka biasanya mendapatkan dana-dana istimewa dari kaum imperealis.
Langkah masuk kaum imperealis ke dalam negeri ini ialah, dengan melakukan peminjaman dana dengan bunga yang sangat tinggi ketika pemerintah secara terus menerus membutuhkan uang. Tentu saja peminjaman yang secara tidak cuma-cuma ini akan memberikan dampak negative yang berkepanjangan dalam proses pembangunan negeri. Pembayaran bunga pinjaman tersebut yang cukup tinggi memakan porsi anggaran Negara, setelah sampai kepada imperealis mereka mengembalikannya ke dalam negeri dengan menginvestasikan uang tersbut ke daerah-daerah dalam bentuk capital-industrial, yang tertarik pada sumber daya alam yang belum tersentuh.
Selain itu, kita juga harus mengenal apa itu imperealisme beserta ciri-cirinya. Apa benar bangsa kita berada dalam bayang-bayang imperealisme. Menurut John Perkins, imperium adalah Negara-bangsa yang mendominasi Negara-bangsa lainnya dengan menunjukkan satu atau lebih dari ciri-ciri tersebut:
- Mengeksploitasi sumber daya dari Negara yang didominasi,
- Menguras sumber daya dalam jumlah yang tidak seimbang dengan jumlah penduduknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain,
- Memiliki angkatan militer yang besar untuk menegakkan kebijakannya ketika upaya halus gagal,
- Menyebarkan bahasa, sastra, seni dan sebagainya ke seluruh tempat yang berada di dalam pengaruhnya,
- Menarik pajak bukan hanya dari warganya sendiri, tapi juga dari orang-orang di Negara lain,
- Mendorong penggunaan mata uangnya sendiri di Negara-negara yang berada di bawah kendalinya.
Yang lebih menyeramkan adalah pendapat Keniche Ohmae, menurutnya kekuatan globalisasi yang membawa masuk dalam realitas yang berdimensi tanpa batas telah menghilangkan atau melumpuhkan kekuatan-kekuatan efektif sebuah negara demokrasi. Karena demokrasi merupakan subtansi atau hakikat suatu negara-bangsa maka akibatnya negara-bangsa hanya sebatas rekaan saja. Kekuatan atau daya tawar lebih tinggi yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan transnasional terhadap negar-bangsa telah membuat pemimpin negara bangsa tunduk di bawah keinginan atau kepentingan para pemodal. Bahkan bukan hanya sebatas menjadi “rekaan”, dengan globalisasi dan kapitalisme global, maka negara-bangsa akan lenyap.
Jelas sudah, mengapa demokrasi yang kita anut saat ini menjadi lenyap dan menjadi sesuatu yang menakutkan bagi kaum miskin. Demokrasi yang dianut saat ini sangat nyaman bersanding dengan imperealisme dan globalisasi sehingga menumbuhkan angka kemiskinan bagi penduduknya sendiri. Gagagasan gilang gemilang Mochammad Hatta tentang demokrasi ekonominya lenyap, dimakan oleh kaum imperealis dan para komparadornya yang merupakan anak asli bangsa sendiri. Demokrasi hanya tinggal gagasan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI