Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gerobak Roda Dua

15 Maret 2015   12:53 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aspal ini sudah tampa tua untuk ditapaki. Banyak yang sudah berlubang karena sudah tak sanggup lagi menahan hujan yang datang. Kadang pula genangan air memenuhi seluruh badan jalan karena saluran air sudah tak berfungsi semesetinya. Aspal untuk mempermudah jalan manusia. Saluran air untuk mempermudah air mengalir. Keduanya tak boleh ada yang rusak sama sekali. Jika itu terjadi maka akan merugikan manusianya sendiri.

Kususuri Komplek Pertamina. Kuperhatikan setiap jengkalnya selokan. Kuperiksa dengan teliti setiap tempat pembuangan sampar rumah tangga. Mencari sedikit rejeki dari mereka yang membuangnya. Tak pernah ada Satpam yang menegur atau penghuni komplek yang melarang. Semua berjalan semestinya. Mereka buang maka orang-orang seperti kami yang akan memungutnya. Begitulah roda kehidupan.

Entah ini got atau kali, airnya tak begitu banyak dan tak juga tak sedikit. Namun ketika musim hujan datang, maka air kali ini akan tumpah memenuhi jalan dan rumah-rumah penghuninya. Ada yang salah, tapi tak perlu kuhiraukan karena merekapun tak pernah menghiraukanku.

Desember kali ini hujan begitu banyak, jalan-jalan rejeki pun sudah tampak rusak. Tak ada yang mau disalahkan. Manusia masih tampak berdiri di paripurna tertinggi. Dialah yang harus dimengerti, bukan alam ataupun sampah di kali. Namun satu hal yang pasti dari semua ini, aku tak pernah tau nama-nama jalan yang ku lewati.

*

Anak-anak berbaris rapih. Yang kecil berdiri di barisan paling depan. Dan yang paling besar sudah pasti berada di baris paling belakang. Di setiap kelompoknya ada pemimpin barisan. Menyiapkan agar tetap rapih, mengawasi agar tak berisik. Aku mengintipnya dari luar pagar. Tak ada siapa-siapa. Tak ada lagi pedagang yang berjualan di luar halaman sekolah. Tak ada lagi orang tua yang menunggui anaknya. Hanya ada beberapa kendaraan yang lalu lalang. Ku lihat ada seorang anak berdiri di tengah lapang. Tak tahu apa fungsinya, mungkin ia pemimpin upacara. Hal yang tak pernah ku lewati adalah ketika mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. Katanya itu adalah lagu kebangsaan. Ku ikuti setiap minggunya, lambat laun aku pun bisa menghafalnya. Ku beri hormat kepada Sang Merah Putih, kadang hatiku bergetar saat seperti itu. Kemudian semua bubar barisan, dengan tertib meski ada sedikit canda diantara mereka. Lapangan pun sepi, kini kehidupan di dalam kelas menjadi ramai. Dan aku pun kembali menyusuri kehidupan ini.

Dari Pertamina, AL, Antara, Graha sampai Antilop ku susuri semua. Ada banyak sekolah yang ku lewati. Dari TK sampai SMA semua ada di lingkungan ini. Kadang aku berhenti melihat aktifitas mereka, menyaksikan dunia sekolah kadang membuatku ingin merasakan hal seperti itu. Di saat tenggelam dalam lamunan, bapak menarikku, menyadarkan akan dunia seperti apa yang kini ada dalam hidupku.

“Sudah ayo bangun, kita jalan lagi.” Biasanya bapak seperti itu ketika aku terlihat jauh masuk ke dalam lingkungan sekolah. Kadang aku ingin masuk dan duduk bersama mereka. Tapi kehidupan membuat kita memiliki dunianya sendiri-sendiri.

“Bapak dulu pernah punya cita-cita?” Iseng ku tanyakan kepadanya. Dia hanya diam saja. Tak ada jawaban dari mulutnya yang sudah tua dan bau kretek. Lalu aku tanyakan juga, “Apa bapak pernah punya cita-cita kepada ku?” Tapi dia masih saja diam. Aku mengikuti langkah kakinya dari belakang. Seperti semut-semut yang berjalan, patuh tak sedikitpun keluar dari koridor yang ditentukan.

Bapak dulu mengaku pernah sekolah, meskipun tidak sampai tamat sekolah rakyat tapi setidaknya ia bisa sedikit baca dan tulis. Dia juga yang menuliskan tulisan di gerobak kami, satu-satunya tulisan yang ku hafal “Dijalanan kami sandarkan cita-cita”. Aku tak tahu dapat dari mana ia kalimat seperti itu. Namun dari situ aku lambat laun mengerti tentang kehidupan orang-orang seperti kami.

Sekarang umurku sudah menginjak usia sepuluh tahun. Kadang aku ingin sekolah, menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan benar. Berbaris memakai seragam, memberi hormat kepada Bendera Merah Putih saat di naikkan di tiang tertinggi. Ingin mengucapkan Pancasila dengan lantang, bersama-sama demi menjaga keutuhan bangsa. Tapi kalau aku sekolah, di kelas berapa ku diterima. Kelas satu atau kelas yang lainnya.

“Emang kamu ingin punya cita-cita apa?” Bapak tiba-tiba menanyakannya. Di tepi kali, di bawah pohon rindang. Sedikit menepi setelah karung kami hampir terisi penuh

“Mana aku tau, bapak juga gak pernah mengajarinya.” Timpalku. Lalu kami hanya diam. Tak ada lagi kalimat yang keluar dari kami. Aku dan bapak hanya istirahat, membasahi tenggorokan, mengisi perut dengan roti warungan.

*

Aku tak pernah tau apa itu cita-cita. Aku hanya mendengarnya sekali dari rombangan anak-anak berseragam merah-putih yang sedang asik mengobrol. Mereka menggondol tas, tampak riang dari raut wajahnya. Salah seorang dari mereka ada yang bilang, “Cita-citamu apa?”, lalu yang lainnya bergantian menjawab, “Presiden”, “Polisi”, “Insinyur”, “Pilot”. Ternyata hatikupun ikut menjawab seperti mereka semua, aku bilang dengan pelan, “Aku ingin menjadi Dokter.” Sengaja ku ucapkan dalam hati, takut mereka menertawakanku.

Bapak memang tak pernah mengajarkanku cita-cita dan masa depan. Setelah menggondol diriku ke Jakarta dan membawaku tinggal bersama orang-orang yang bernasib sama seperti kami, aku hanya diajarkan untuk memungut barang-barang bekas seperti kemasan air minum, baik yang dari plastik, kaca ataupun kaleng. Memungut berkas kardus. Atau apapun yang masih bisa digunakan dan dijual. Ketika malam, aku disuruhnya ikut Kusnadi, seorang teman yang usianya lebih tua dariku, berjualan kantong plastik di pasar. Tak ada waktu kosong untuk orang-orang seperti kami. Tak ada liburan dan tentunya tak ada buku pelajaran. Ku jalani itu, tak pernah aku tanyakan kenapa ini semua terjadi.

*

Suatu malam, pasar sudah rata dengan tanah. Kios yang pedagang buat dengan alat seadanya sudah tak lagi berdiri. Hanya ada orang-orang berseragam. Sedang sibuk memaki pedagang yang masih nekat berjualan. “Yaudah kita pulang saja.” Kusnadi mengajak ku pulang. Malam ini kami tak perlu berkeliling pasar, menjual kantong plastik lalu membawakan belajaannya ke angkot ataupun ke tukang ojek.

“Biasanya tiga sampai empat hari lagi mereka baru berdagang kembali.”

“Berarti kita libur?”

“Tak ada libur bagi orang bernasib seperti kita.” Ketus Kusnadi.

“Mereka bernasib jelek, sudah ditarik iuran tapi masih saja harus dibubarkan.” Ucap Kusnadi. Kusnadi memang sudah beberapa tahun lebih dulu berjualan di pasar daripada aku. Dia sudah tahu seluk beluk di sana. Termasuk iuran yang pemerintah tagih kepada para pedagang. Namun di lain waktu pemerintah pun mengusirnya, melarang mereka berdagang karena dianggap mengotori pemandangan.

*

Ku masuki tembok pembatas itu dengan hati-hati. Kadang kulit harus tergores lantaran temboknya belum diplester. TK dan SD tersebut memang berdampingan, hanya menyisakan sedikit cela agar batas diantara keduanya jelas. Ku memaksa masuk, cela yang hanya kira-kira dua jengkal orang dewasa ini ku masuki dengan nekat. Ku ingin mengintip mereka yang sedang belajar. Aku ingin tau bagaimana rasanya sekolah.

Indonesia itu subur tanahnya, kaya akan lautnya, manusianya penuh keramahan. Alamnya yang kaya membuat kita harus bekerja keras merawatnya. Untuk merawat itu semua, kita harus sekolah. Karena dengan sekolah kita dapat mengetahui dan mengelola sumber daya alam tersebut agar tetap bermanfaat untuk kehidupan manusia. Suara itu berasal dari dalam kelas. Aku mendengarnya dengan seksama. Perempuan, berarti sosok seperti itulah yang dinamakan Ibu Guru. Aku senang, hari ini bisa mendengar Ibu Guru memberikan pelajaran kepada siswanya. Aku senang sudah menjadi muridnya.

Ku ingat-ingat kembali kata-kata Bu Guru. Indonesia itu kaya akan sumber daya alam. Sepanjang siang, aku terngiang kata-kata tersebut. Ternyata Indonesia memang kaya, dalam batinku. Lalu aku membuktikannya sendiri, dengan sampah yang mereka buang, aku bisa dapat rejeki. Mungkin ini juga bisa disebut sebagai sumber daya alam, ucap dalam batinku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun