Esok hari bangsa Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi secara langsung untuk ketigakalinya. Ini merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi proses demokratisasi di negeri kita. Sehingga kini bangsa kita sering membanggakan dirinya kepada dunia internasional sebagai negeri paling demokrasi ketiga setelah Amerika Serikat dan India.
Untuk periode kali ini, akan ada 12 Partai Politik yang akan ikut serta dalam persaingan perebutan kekuasaan. Mereka berlomba untuk menjadi pemenang agar agenda-agenda politik mereka yang kerap kali mengatasnamakan kepentingan rakyat dapat terlaksanakan. Mereka berkampanye, menyampaikan agenda politik agar dapat merebut simpati rakyat.
Pada dasarnya, pemilihan umum dilaksanakan oleh rakyat untuk diberikan kesempatan secara periodik, bebas dan kompetitif untuk memberikan hak pilihnya pada para peserta Pemilu. Mereka bebas menentukan elit kekuasaan mana yang akan memegang kendali pada periode yang akan datang. Hanya melalui pemilihan yang jujur dan adillah perebutan kekuasaan yang sah dalam sistem demokrasi. Pemilihan umum adalah sebuah manifestasi dari kedaulatan rakyat. Kita telah lama membicarakan bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat dan keputusan pemerintah tidak sah jika tidak berdasarkan kepentingan dan kebutuhan rakyat.
Dalam demokrasi penguasa bertanggung jawab kepada rakyat. Rakyat melalui pemilihan umum menentukan sosok-sosok actor politik, arah politik, dan pada akhirnya melahirkan pemerintahan yang baik. Meskipun tampak membosankan, meski ditekankan kepada rakyat, bahwa tidak ada penguasa dalam demokrasi yang mempertahankan dirinya sebagai penguasa dengan mengklaim bahwa tindakan-tindakan politiknya mencerminkan pertanggung jawaban kepada institusi lain, seperti Tuhan, ras, sejarah, atau apa saja yang mengenakan.
Yang menjadi permasalahan apakah partisipasi rakyat pada esok hari kian meningkat atau malah kian lesu terhadap pelaksanaan pemilihan umum. Kita sudah akrab sekali dengan adanya wacana Golput (Golongan Putih) pada diri masyarakat. Mereka memutuskan untuk tidak memilih dalam proses demokrasi. Lantas apakah pilihan mereka ini benar atau malah sebaliknya, merugikan perjalanan bangsa kita kedepannya?
Minimnya pengetahuan tentang para calon membuat masyarakat tak lagi tertarik menjalani haknya. Mungkin juga karena rakyat telah bosan, karena pemimpin yang dilahirkannya tidak amanah. Menurut Yuddy Chrisnandi dalam bukunya “Strategi Kebangsaan Satrio Piningit 2014” kini kita tidak lagi menemukan dunia politik yang sering tersenyum dan tertawa, apakah dia oposisi atau penguasa, lantas member contoh negeri ini akan pentingnya etika. Saat ini yang ditemukan adalah contoh-contoh mengerikan. Tentang korupsi dan kelaparan. Tentang ideology dan kekerasan. Tentang peluru dan nyawa. Dan tentang kepura-puraan betapa mereka memiliki kepedulian. Jarang ditemukan tokoh politik mampu berpuisi dan menari. Kata-kata tidak lagi berkerangka, terbang melayang diembus tumpukan berita yang datang silih berganti setiap pagi, siang, petang dan malam hari. Jika sudah seperti ini, rakyat semakin jenuh, mereka bosan dengan dunia politik. Tidak ada lagi inspirasi yang diharapkan untuk perubahan. pada akhirnya rakyat malas datang ke TPS, angka golput semakin meningkat.
Untuk mengantisipasi angka golput yang kian meningkat, MUI yang merupakan lembaga Negara non pemerintah mengeluarkan fatwa haram kepada masyarakat tentang golput ini. Seperti di kutip melalui kompas.com fatwa haram golput yang dikeluarkan MUI ini merupakan salah satu bentuk upaya dari ulama untuk menegakkan demokrasi di Indonesia. Fatwa haram golput dikeluarkan oleh MUI pada saat Ijtima Ulama di Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, tahun 2009 lalu. Untuk mensosialisasikan fatwa haram ini, MUI menggerakkan para da’i atau juru dakwah untuk menyebarkan informasi fatwa tersebut kepada seluruh masyarakat muslim. MUI menjadi sumber konsultasi para da’i untuk melakukan tugas sosialisasi penyebaran informasi fatwa haram golput.
Sebenarnya upaya ini dengan jelas memojokkan masyarakat sebagai pemilih yang berkeinginan untuk memilih menjadi seorang golput. MUI melakukan kesalahan jelas dalam masalah ini. Adanya fenomena golput sebaiknya kita nilai karena partai politik dan para kadernya gagal menampilkan kegiatan politik yang jujur dan adil. Seperti apa yang dituliskan di atas, saat ini yang ditemukan adalah contoh-contoh mengerikan. Tentang korupsi dan kelaparan. Tentang ideologi dan kekerasan. Tentang peluru dan nyawa. Dan tentang kepura-puraan betapa mereka memiliki kepedulian. Selain itu karena partai politik gagal menyampaikan pesan-pesan politiknya kepada masyarakat.
Dalam kuliah Komunikasi Politik yang diberikan oleh Gun-Gun Heryanto Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekusaaan guna mewujudkan program-program ysng disusun berdasarkan ideologi tertentu. Fungsi-fungsi partai antara lain :
- Sosialisasi Politik : proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat
- Rekrutmen politik : seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintah pada khususnya
- Partisipasi politik : kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan
- Pemandu Kepentingan : menstimulasi, menunjukkan arah kepentingan politik yang semestinya menjadi perhatian publik
- Komunikasi politik : kegiatanmenyampaikan pesan bercirikan politik guna mempengaruhi pihak lain agar dapat meraih kekuasaan yang diinginkan
- Pengendalian konflik : kegiatan untuk mengendalikan proses politik yang berlangsung agar sesuai dengan kepentingan yang diinginkan
- Kontrol politik : kegiatan untuk menunjukkan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Menurut hemat saya banyak sekali partai politik yang tidak menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya. Partai politik hanya ribut-ribut masalah pembagian kekuasaan. Oposisi hanya sebagai pelengkap sistem demokrasi. Tidak ada lagi kontrol yang diberikan partai politik terhadap kesalahan, kelemahan dan penyimpangan isi suatu kebijakan. Pesan-pesan politik yang mereka sampaikan kepada masyarakat lagipula sudah menjadi sebuah anggapan janji palsu yang diterima oleh masyarakat. Kegagalan partai politik dalam menampilkan kegiatan politik yang harmonis namun tetap kritis gagal diterima oleh masyarakat dan cenderung menambah angka golput.
Lagipula, pemilihan umum yang dianggap sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat kini sudah menjadi sebuah lelucon semata. Kata kedaulatan sering kali kita dengan sepanjang perjalanan demokrasi bangsa ini. Rakyatlah yang menentukan kepada siapa mereka akan dipimpin dan akan kemana arah kebijakan bangsa ini akan berjalan. Ini didukung dengan adanya pelaksanaan pemilihan umum yang bebas serta jujur dan adil sebagai wadah untuk memenuhi kedaulatan rakyat. Kini rakyat telah ditinggalkan ketika pelaksanaan pemilihan umum telah berlangsung. Partai politik kini bukan lagi mengabdikan diri pada kepentingan kesejahteraan masyarakat melainkan kepada kepentingan kelompok semata. Demokrasi saat ini hanya melahirkan kegaduhan dan kejenuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi dan berbagai dampak kekecewaan lainnya yang dialami oleh rakyat.
Jadi apakah salah jika rakyat lebih memilih golput ketimbang memilih orang-orang yang sudah terlanjur menuliskan tinta hitam dalam upaya pembangunan negeri. Rakyat tidak salah sama sekali, menurut Sayid Hasan Islami dalam bukunya “Politik Khomeini” manusia tidak hanya memiliki hak memilih, tetapi berkewajiban pula untuk memilih. Manusia dikutuk dengan kebebasan karena setiap gerakan kita merupakan bentuk kepemilihan. Bahkan suatu hari kita memutuskan untuk tidak memilih lagi, sesungguhnya kita, dengan keputusan itu, telah melakukan pemilihan. Lingkup memilih ini merupakan lingkup perbuatan dan perilaku sadar dan sukarela kita, bukan merupakan sifat-sifat genetic dan lingkungan.
Jelas sudah bahwa ketika masyarakat memilih untuk melakukan golput bukan berarti mereka tidak memilih, melainkan mereka memilih untuk tidak memilih. Mereka sadar bahwa pilihan-pilihan yang mereka terima bukanlah pilihan yang terbaik yang mereka inginkan. Jadi golput bukanlah sebuah tindak kejahatan yang meski diberikan sebuah fatwa haram oleh MUI dan pemerintah. Ini adalah pilihan dari pilihan-pilihan yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H