Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rasamala

21 Februari 2015   20:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Rombongan besan akan segera sampai, bersiaplah segera.”

“Apa aku ikut keluar?”

“Tidak usah, kamu di kamar saja, sampai Mamah menjemput kamu. Itu tandanya akad telah berlangsung lancar.” Mamah lalu beranjak pergi ke halaman rumah yang sengaja didekorasi sebagai tempat resepsi pernikahanku. Para saudara, tetangga dan tamu-tamu yang sengaja diundang oleh orang tua ku sudah berkumpul di sana. Rombongan tim hadroh (musik kesenian Timur Tengah) sudah melantunkan lagu-lagunya. Thola’al badru alaika … dan seterusnya, terdengar merdu dari dalam kamar aku di rias bak permaisuri. Calon suamiku beserta rombongan telah sampai. Petasan dinyalakan. Palang pintu (ciri khas orang Betawi) sedang melakonkan sebuah pertunjukkan. Kegembiraan terpancar dari semua yang hadir di rumah ku.

Itulah hari pernikahanku, masih teringat jelas dalam benakku meski kini aku dan suami telah memiliki Rasamala, anak pertama kami berdua yang kini berusia 3 tahun.

“Besok Mala mau kemana? Ayah ajak kamu pergi jalan-jalan mau kan.”

“Ke Ragunan, liat Gajah.” Jawabnya manja dan terbata-bata. Anak seusianya memang selalu ingin melihat keanekaragaman binatang yang ada di Kebun Binatang. Termasuk anakku, meski hampir setiap liburang ke sana, dia selalu minta lagi dan lagi. Dan kali ini pun ia memintanya kembali ke sana. Suamiku selalu menuruti kemauannya, termasuk untuk rencana liburan esok hari. Mala senang sekali melihat Gajah. Belalainya yang panjang, tubuhnya yang besar dan memiliki gading, merupakan sesuatu yang dia anggap aneh dalam kehidupannya. Selain itu dia juga senang melihat Jerapah, Buaya, dan Rusa. Kadang diapun minta dibelikan hewan untuk diadopsi, entah ikan ataupun burung. Namun, ayahnya hanya membelikannya ikan hias, alasannya sudah barang tentu karena mudah merawatnya.

“Segeralah tidur, jangan kemaleman.” Bagus memerintahkan Mala untuk segera tidur sambil berlalu masuk ke dalam kamar. Jadilah aku dan Mala malam ini berdua saja. Sedangkan ayahnya memutuskan untuk istirahat lebih awal. Pekerjaannya yang sedang menumpuk selalu membawanya masuk ke alam mimpi lebih dahulu ketimbang aku dan Mala. Tapi tak seperti biasanya, Mala malam ini tidur terlalu cepat. Hanya lima belas menit dalam dekapanku, ia langsung tertidur pulas.

Kuambil cepat-cepat terlepon genggamku. Ku ketik pesan, “Besok ku ke Ragunan”. Ku kirim Sandek tersebut kepada seseorang. Setelah ada laporan pesan terkirim, cepat-cepat ku hapus. Kini hanya tinggal aku sendiri. Akhirnya kesendirianku tersebut membawaku ke dalam lamunan panjang akan masa lalu. Seakan semuanya telah diatur dengan rapih oleh kedua orang tuaku.

*

Ayah merupakan seorang kontraktor. Dunia yang sama sekali tidak ku ketahui tentang apa. Meskipun kerap kali dia mengajakku pergi mengunjungi tempat ia bekerja. Aku tak banyak bertanya dan juga tak mau banyak tahu. Ayahku pun tak mengenalkanku pada dunianya terlampau jauh, mungkin hanya sebatas mengenalkannya saja tanpa harus mengetahuinya lebih dalam. Berbeda dengan Mamahku. Dia seorang pemuka agama. Keahliannya dalam bidang tersebut membuat dirinya begitu dihormati. Selain memimpin majlis ta’lim, mamah pun ditunjuk untuk memimpin ibu-ibu PKK se-kecamatan tempat kami tinggal. Mamah kerap kali mengajakku ikut dalam kegiatannya. Dia sangat berharap, aku dapat meneruskan apa yang sedang ia raih pada masa kini. Mungkin karena aku anak perempuan satu-satunya.

Selain itu, agar cita-citanya terwujud, mamah juga yang memerintahkan ku kuliah di salah satu universitas islam terkemuka di Jakarta. Dimasukkan aku ke dalam jurusan ilmu dakwah.

Sebenarnya bukan hanya kuliah saja ku ditentukan di mana tempatnya. Sejak SD sampai SMA aku disekolahkan di Madrasah terpadu. Menimba ilmu agama. Sampai masa kuliahku pun mamah kembali memonopolinya. Namun aku tak pernah berontak sekalipun. Aku nurut akan kehendaknya.

Untuk mengisi kekosongan dalam diriku. Aku ikut berbagai kegiatan di kampus. Akhirnya aku fokus pada kegiatan pecinta alam. Betapa pentingnya menjaga alam ini sangat menarik minatku. “Kelak dalam beberapa tahun lagi, apakah anak cucu kita akan menikmati keidahan alam pada saat kita masih muda atau malah semua itu sudah rusak dan tak terjaga?” Itulah yang selalu terpikirkan dalam hati sehingga membawaku masuk dalam dunia pecinta alam.

Memang tak masuk di akal kenapa aku memutuskan untuk ikut dalam kegiatan pecinta alam. Aku seorang perempuan, berasal dari jurusan ilmu dakwah. Ibu ku selalu berkata seperti itu, namun lambat laun diapun menyerah akan pilihanku yang satu ini. “Ku jaga keinginan mamah agar kelak ku meneruskan jalan yang dia ambil, di waktu yang bersamaan aku pun berhak sedikit mencari pengalaman dalam dunia yang lain”, itu yang selalu menjadi alasanku kepadanya.

*

Setelah Mala tertidur, malam semakin larut. Kemilau mahluk langit sangat indah malam ini. Ku mengintipnya dari jendela lantai dua rumah. Ku nikmati beberapa saat. Sedang dua orang tercinta dalam rumahku ini sudah tertidur pulas. Kembali pergulatanku tentang masa lalu masuk ke dalam pikiranku mala mini.

“Ini adalah hamparan hutan Rasamala.” Ucap Ahmad pelan di sampingku.

Kala itu adalah perjalanan pertamaku mendaki Gunung. Seperti biasa, awalnya orang tua ku melarangnya. Namun karena aku punya sedikit cara untuk meluluhkan hatinya. Aku mogok makan. Dan mereka pun tak tega melihat perlawananku. Akhirnya aku diijinkannya untuk ikut mendaki Gunung Gede.

Rasamala adalah tumbuhan yang mampu hidup bertahan sangat lama. Bahkan ahli botani ada yang memprediksi kira-kira umurnya sampai ratusan tahun. Pohon tersebut juga dapat tumbuh tinggi mencapai 60 meter. Rasama hidup dalam ketinggian 1000-1500 mdpl. Di jalan setapak yang kami lewati, aku dapat menyaksikan kekokohan pohon tersebut.

Ku ingat saat itu Ahmad banyak sekali menjelaskan tentang Rasamala. Ia bicara sepanjang pendakian, sampai kami berhenti di Kandang Batu.

“Rasamala termasuk tumbuhan yang dilindungi. Pohon itu kerap kali menjadi buruan utama manusia rakus yang tak menghargai alam. Batangnya yang besar kerap kali dijadikan bahan bangunan oleh mereka.” Ku ingat sekali saat itu Ahmad sedang kelelahan. Namun ia tak juga mau berhenti menjelaskan tentang Rasamala.

“Rasamala penting untuk dilindungi. Selain usianya yang panjang, ia juga kuat untuk menjaga kelestarian alam.” Ku suapi mulutnya pakai roti yang ku bawa. Tentu bukan untuk menutup mulutnya agar berhenti bercerita. Tapi ku tahu perutnya sudah tak bisa lagi ditahan-tahan untuk diasupi makanan. Ku bahagia, dirinya menceritakan itu semua. “Rasamala memiliki nama latin altingia excelse noronha, ia berasal dari Himalaya. Di pulau Jawa hanya terdapat di hutan-hutan Jawa Barat. Hutan tropis dengan curah hujan lebih dari 100 mm per bulan.”

Disaksikan oleh teman-teman kami tak peduli akan kegiatan kami berdua saat itu. Mereka juga menyadari, kami berdua sedang di mabuk asmara. Hutan menjadi lokasi pertama kali aku dan Ahmad jalan bersama. Setelah di Jakarta aku selalu melarangnya untuk jalan bareng bersamaku. Aku takut, ibu ku tahu hubungan aku dan dia.

“Nanti jika kita punya anak, kita kasih nama Rasamala. Karena ia merupakan simbol peradaban yang mampu bertahan begitu lama menjaga alam.” Aku hanya tersenyum kala itu. Tak mau senang ataupun sedih. Karena aku tak tahu akan menikah dengan siapa kelak. Walau saat itu ku sangat mencintainya.

*

Ku lihat ke kamar masing-masing. Suamiku dan Mala telah masuk jauh ke alam mimpi malam ini. Sedangkan ku begitu jauh masuk ke dalam masa lalu.

Menjelang lulus kuliah, mamah mengenalkanku dengan keluarga Bagus. Jelas ku tahu maksud dari perkenalan itu. Kini setelah mengatur semua dunia pendidikanku, mamah juga telah mengatur kepada siapa akan ku dinikahkan.

Ku bertemu dengan Ahmad dan menyampaikan pertemuan dan maksud dari itu semua. Ia hanya berdiam. Sempat menggenggam tanganku erat. Dia pun melangkah pergi. Setelah kejadian tersebut kami jarang bertemu. Aku sibuk mengurus skripsi, dan dia sibuk melupakanku dengan bermain-main di alam bebas.

*

Aku kini telah empat tahun menikah. Di awal pernikahan, Bagus selalu bilang, “kita jalani ini perlahan. Anggap saja sebagai pengabdian kepada ketulusan hati orang tua kita masing-masing.” Awalnya aku menduga akan bahagia, tapi lebih sering masa lalu memasuki ruang kosong dalam diriku.

Sebelum pernikahanku berlangsung, aku jarang sekali bertemu dengan Ahmad. Justru setelah ku menikah, aku lebih sering berani menemui Ahmad kekasihku yang pertama dan terakhir. Meski madu cintaku telah resmi direguk oleh suamiku, tapi dia masih setia dan sedia menemuiku. Membicarakan masa lalu, sambil bermimpi, akan masa depan. Teringat kembali tentang Rasamala membuatku merinding saat bertemu dengannya.

Suatu sore kami bertemu. Di sela-sela kesibukan suamiku dan juga keluarga lainnya. Hujan menyambut pertemuan kami berdua. Entah apa yang akan terjadi setelah pertemuan itu berlangsung aku tak mau menduga-duganya. Yang ada dalam pikiranku saat itu adalah ku rindu akan kehadirannya.

Madu cinta menuntun kaki kami berdua. Tak menyentuh alam kesadaran sama sekali. Tiba-tiba ku intip dari jendela. Di luar sana hujan semakin deras. Wajah lesu terpancar dari anak manusia yang berada di pinggir jalan. Ternyata aku sudah bersamanya sedari sore. Tanpa pakaian sehelaipun. Ahmad menarikku. Didudukinya aku dipangkuannya. “Kalau nanti anak ini jadi, semoga kamu masih ingat janji kita di Gunung Gede.” Ucapnya penuh cinta malam itu.

*

Suamiku terbangun tepat pukul dua pagi. Memelukku dari belakang. Ternyata aku baru tersadar, lamunan masa laluku telah membawaku dalam dekapan cinta seorang lelaki yang tak sama sekali ku cintai. Sedangkan Rasamala ku tinggal di kamarnya. Sendiri. Tanpa ditemani oleh asisten rumah tangga yang biasa menemani.

Aku tak menyesal ini semua terjadi. Ku niat membahagiakan ibuku. Membahagiakan suamiku. Awalnya diapun sama seperti ku. Namun lambat laun ia begitu mencintaiku. Berbeda yang terjadi denganku. Aku masih berhak menerima kebahagiaanku sendiri. Meski harus ku sembunyikan dari orang lain.

Esok hari, ku harap Ahmad datang menemuiku dan juga melihat Rasamala telah tumbuh besar, di kebun binatang. Berharap sekali pesan pendek tersebut di bacanya.

Dan malam ini kuhabiskan sisanya bersama suamiku. Kami saling bersentuhan, seperti malam pengantin kami berdua, sampai waktu subuh datang mengakhiri itu semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun