Mohon tunggu...
Ahmad Fauzi
Ahmad Fauzi Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tarkam

28 Februari 2015   19:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:21 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Musik dangdut telah dinyalakan melalui pengeras suara. Dengan lihainya sang empunya wilayah tersebut mengecek satu persatu alat-alat yang selalu ia gunakan jika pertandingan akan segera di mulai. Mengatur volume yang pas akan menjadikan suasana semakin menghibur di kalangan masyarakat.

Sementara itu pihak panitia sedang berjalan-jalan keliling lapangan. Layaknya pertandingan internasional, mereka mengecek satu persatu perangkat pertandingan. Garis gawang, titik penalti, sudut penjuru bahkan sampai jarring gawang pun diperiksakan agar tak ada kejadian yang tak diinginkan.

Penonton datang secara bergantian. Mengisi seluruh pinggir lapangan. Dalam radius beberapa meter dari tiang gawang mereka dilarang oleh pihak panitia, ditakutkan mengganggu konsentrasi si penjaga gawang.

Begitu pun dengan para penjual makanan dan minuman. Layaknya disebuah pertandingan bergengsi, pada kompetisi seperti ini pun selalu mengundang rejeki tambahan bagi masyarakat sekitar. Ada yang berjualan es; seperti es mambo, orson, ataupun es kelapa yang gulanya dari pemanis buatan yang paling dahsyat. Selain itu ada juga tukang gorengan, cilok, siomay, dan semacamnya. Mereka menjajakan jualannya secara gratis tanpa dikenakan pajak oleh panitia.

Tentu yang paling populer dari turnamen bergengsi seperti ini adalah jajanan sate jengkol. Sate yang biasanya terbuat dari kambing hewan macam kambing dan ayam, kali ini sate tersebut dijual melalui jengkol-jengkol pilihan yang masih empuk untuk dimakan. Layaknya sate biasa, jengkol tersebut disajikan juga dengan bumbu kacang yang sangat menarik lidah. Jajanan ini yang sering kali menjadi incaran penonton dikala menikmati jalannya pertandingan.

Turnamen kali ini sangat istimewa. Musim kemarau penuh menambah suasana pertandingan selalu berjalan lancar. Bayangkan jika musim penghujan tiba, tiap pertandingan selalu ditunda lantaran lapangan banjir dan tidak bisa digunakan.

Lapangan yang hijau dengan rumput hampir di seluruh bagian menjadikan turnamen ini sebagai nilai lebih dari turnamen-turnamen di lapangan lain. Berada dalam wilayah Persatuan Kempo Seluruh Indonesia, lapangan ini tampak terawat untuk sekelas lapangan kampung. Tiap sisi lapangan berbatasan langsung dengan tiga kampung yang berbeda. Kampung Betan, Bojong Rawa Lele dan Kober mengisi sisi-sisi lapangan. Tak ayal jika turnamen berlangsung, lapangan ini selalu dipenuhi oleh kerumunan masyarakat.

Aku sendiri kali ini menjadi saksi, betapa indahnya hiburan rakyat kali ini. Berdiri menghadap ke Utara, mata menatap seluruh bagian lapangan, mengingatkan ku akan kenangan panjang di atas lapangan yang membesarkan anak-anak kampung macam kami memiliki cita-cita menjadi pemain sepak bola nasional.

Dari turnamen seperti ini pula, kami belajar menjaga gengsi sebuah tim kebanggaan. Tak jarang dalam satu grup tim-tim yang memiliki hubungan tak harmonis kembali bertemu. Dan tim kampung kami jika bertemu kampung Bojong Muda akan selalu terjadi kericuhan kecil dan adu mulut baik di dalam dan di luar lapangan. Bisa dikata, turnamen ini merupakan jaga gengsi antar kampung. Seperti yang pernah ku alami sebelumnya.

*

Jam setengan empat, selepas menjalankan solat Ashar, ku periksa perlengkapan sepakbola. Rompi, bola dan sepatunya ku periksa satu persatu. Semua lengkap, volume bola pun tak terlalu kempes dan tak terlalu keras. Biasanya jam empat kurang lima belas, kawan-kawan telah berada di lapangan untuk latihan.

Mengisi pemanasan ringan, sambil berlatih mengolah si kulit bundar adalah rutinitas kami sebelum bermain. Kadang pula bermain kucing-kucingan, biasanya kami telah mengincar seseorang yang akan dijadikan kucing untuk kami kocok perutnya sebelum latihan berlangsung. Aku pernah menjadi sasaran kawan-kawan, hampir 10 menit jaga, tak mampu merebut bola sekalipun dari pemain lain. Jelas, waktu selama itu akan menguras tenaga.

Tim dibagi menjadi dua. Kami berlatih layaknya pertandingan biasa. Adu teknik, tak mau kalah, terus berlari mengejar bola, dan sedikit nuansa keras selalu menjadi bumbu latihan anak-anak Garuda Muda.

Bola selalu dimainkan dari kaki ke kaki. Jarang sekali mengandalkan umpan panjang. Memainkan bola di tengah lapangan, sedikit membuka ruang di sisi pertahanan lawan. Memberikan umpan terobosan kepada pemain sayap yang memiliki kecepatan lari adalah cara kami membongkar pertahanan lawan. Krosing mengarahkan bola kepada striker atau menarik bola kembali ke depan garis gawang dan diakhiri dengan tendangan dari lini kedua membuat kami sering kali mencetak kemenangan.

Hampir sampai generasi 90an, anak-anak di kampung ku bisa semua bagaimana cara mengolah si kulit bundar. Apalagi di generasi yang lahir di tahun 70-80, mereka memiliki sejarah yang begitu menawan. Jika turnamen se-kecamatan, maka lawan-lawan lain akan mengambil pemain bayaran. Sedangkan tim kami selalu menurunkan bakat-bakat alam yang dimiliki.

Garuda Muda telah mengepakkan sayapnya hingga tanah Sukabumi. Mendapatkan undangan bermain dari luar daerah merupakan sebuah prestasi sendiri yang diraih. Bendera kebanggaan berkibar menyambut kedatangan tim. Alangkah Garuda Muda menjadi tim yang sangat ditakuti.

“Besok kumpul jam 3, di depan rumah Dablang.” Perintah salah satu senior kami setelah latihan. Kala itu kami akan melakoni derbi kampung Bojong. Derbi klasik se-Jatimakmur. Penonton akan penuh dipinggir lapangan. Layaknya menyaksikan pertandingan kelas dunia, mereka banyak yang bertaruh tim mana yang akan menang. Sejarah pertemuan yang panjang, membuat derbi ini selalu berakhir dengan benturan fisik. Disetiap laga seperti ini, biasanya pihak panitia menurunkan langsung petugas keamanan, dan juga menghadirkan Babinsa dari kelurahan.

Derbi ini memang sangat panas. Belum pernah ku mengalaminya. Baru pada gelaran kali ini ku diberikan kesempatan. Begitu pula dengan kawan seangkatan. Adu mulut antar pemain dan penonton sudah menjadi hal biasa. Terkadang malah ada yang sampai baku hantam. Tidak berakhir di atas lapangan, malam harinya berakhir dengan tawuran. Setelah seminggu pertandingan, tensinya baru akan turun. Tak ada lagi benturan diantara keduanya. Makanya jika derbi ini berlangsung, sesepuh kampung banyak yang turun ke pinggir lapangan. Untuk melerai kejadian yang tak diinginkan.

Penonton mulai meneriakkan yel-yel, bukan untuk mendukung tim kebanggaan melainkan meledek tim lawan. Pemain berlari-lari kecil, untuk merilekskan keadaan. Ada instruksi dari para senior yang ujung-ujungnya adalah “jangan sampai kalah, kalau kejadian maka kami telah menorehkan noda hitam di lambang tim kebanggaan.” Sampai disitu kami mengerti, kami harus berjuang mati-matian layaknya prajurit perang. Membela panji kebanggaan adalah sebuah hal istimewa bagi anak-anak kampung seperti kami.

Pertandingan berjalan keras, hampir per lima menitnya terjadi pelanggaran. Penonton mulai memanas, mereka saling ejek satu sama lain. Ada aroma gengsi diantara kita semua. Pihak penyelenggara melalui pengeras suara kerap kali memberikan peringatan kepada para penonton agar bersikap tenang dan tidak melakukan tindak kekerasan.

Di atas lapangan, adu kaki, mendorong pemain lawan, berkata-kata yang provokatif sering kali terjadi. Aku pun ikut dalam suasana panas tersebut. Dalam beberapa kesempatan ku selalu menendang bokong lawan dengan dengkul. Jelas itu akan terasa sakit untuk pemain lawan. Dan untungnya wasit selalu tak lihat kejadian tersebut.

Di sisa sembilan menit, kawan ku Barry mencetak gol kemenangan. Berawal umpan datar yang menusuk dari tengah lapangan yang tak mampu diantisipasi oleh bek lawan, Barry memanfaatkan celah tersebut untuk menggiring bola masuk ke dalam kotak penalti. Beberapa meter berada di depan penjaga gawang dan boooommmmm Barry menembakkan bola dengan keras sehingga tepisan kiper lawan tak mampu menghalaunya mengoyak jala gawang. Semua senang akan gol tersebut. Pendukung tim kami berhamburan masuk ke tengah lapangan. Lebih dari merayakan sebuah kejuaraan. Kami semua puas bisa mengalahkan tim Bojong Muda. Di sisa pertandingan tak ada gol balasan. Suka cita menghampiri kampung kami.

*

Bola menyentuh kakiku. “Mas bolanya.” Pinta salah satu pemain yang sedang melakukan pemanasan di tengah lapangan. Dan, seperti petir menyambar, aku baru tersadar dari ingatan empat tahun yang lalu. Ahhh, dalam sepersekian menit aku mampu mengingat sesuatu yang sangat ku rindukan. Bermain pada turnamen antar kampung dengan membela panji tim Garuda Muda adalah sebuah kebanggaan. Dan tahun ini, kami hanya menjadi penonton. Semua anggota tim sibuk bekerja. Tak ada waktu untuk ikut sebuah turnamen.

Akhirnya komentator pertandingan pun memanggil pemain kedua kesebelasan untuk segera melakukan penghormatan kepada panitia. Ya, sekali lagi turnamen ini ialah layaknya sebuah pertandingan professional. Ditambah pula oleh kelihaian sang komentator tersebut dalam memandu jalannya pertandingan, semua menjadi riuh dalam satu tatapan, Tarkam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun