Menurut hasil survei terakhir Pilkada DKI 2017 yang dilakukan oleh lembaga survei Median (Kompas.com, 5 Oktober 2016), pasangan Ahok-Jarot tetap berada pada posisi teratas dengan 34%, oleh disusul Anies-Uno dan Agus-Sylvi masing-masing 25% dan 21%. Kira-kira 19-20% belum menentukan pilihan. Dengan demikian keunggulan Ahok tidak lagi terlalu dominan, cenderung menurun.
Masih menurut Median, ketidaksukaan masyarakat terhadap Ahok didominasi oleh masalah karakteristik personal, sedang mengenai kinerja diakui (bagus).
Apakah Ahok-Jarot akhirnya akan kalah? Tergantung bagaimana piawainya masing-masing tim memanfaatkan waktu yg tersedia. Namun petahana cenderung lebih sulit dikalahkan, apalagi jika masyarakat sudah puas dengan kinerjanya.
Jika menerapkan teori keuangan yang disebut behavioral finance(BF), khususnya perilaku Loss -Aversion Bias , pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Uno perlu bekerja sangat keras ditambah keberuntungan untuk bisa mengalahkan Ahok-jarot. (analisis ini tidak memeperhitungkan dan membahas faktor bias lain yg bernama Belief Perseverance, yg tidak dibahas dalam tulisan ini karena akan terlalu panjang).
BF merupakan penggabungan bidang studi ilmu keuangan dan ilmu jiwa (perilaku manusia). Perilaku insan keuangan di pasar modal diteliti untuk mengidentifikasi berbagai bias dari perilaku yg rasional. Karena subyek yg diteliti adalah perilaku manusia, maka teori dan berbagai penelitian di bidang ini juga dapat diterapkan pada bidang-bidang lain selain keuangan/pasar modal. Termasuk, bisa diterapkan juga untuk menganalisis (kecenderungan perilaku pemilih) Pilkada DKI 2017.
Loss-aversion bias diidentifikasi oleh peneliti Daniel Kahneman dan Amos Tverski pada tahun 1979. Intinya ada kecenderungan takut rugi yang berlebihan di antara insan keuangan. Rugi lebih berat bobotnya daripada untung, dan kepastian lebih berat bobotnya daripada ketidakpastian.
Sebagai contoh jika seorang investor diberikan 2 pilihan : A. Investasi dengan keuntungan sebear Rp.100 yang sudah pasti, atau B. Investasi dengan tingkat kemungkinan yg sama, untuk mendapatkan untung sebesar Rp. 200 atau tidak medapatkan sama sekali (0). Jadi tingkat keuntungan yang diharapkan dari pilihan B adalah Rp. 100, sama dengan pilihan A. Namun, sebagian besar orang akan memilih A daripada B. Karena ada ketidakpastian di pilihan B.
Jika investor yg dalam posisi rugi diberi 2 pilihan : A. Investasi dengan kemungkinan yg sama, untuk rugi sebesar 400 dan untung 200, atau B. kerugian yg sudah pasti sebesar Rp. 100. Maka investor akan memilih pilihan A, karena kerugian yg sudah pasti lebih besar bobotnya (lebih menyakitkan) daripada kerugian yg belum pasti.
Sekarang, dengan posisi Ahok-jarot sebagai petahana berarti ini adalah posisi alternatif yg sudah pasti. Masyarakat sudah tahu plus minus Ahok-Jarot, sudah tahu kinerja maupun kelemahan mereka. Jika Ahok-Jarot dianggap bagus kinerjanya (posisi untung) maka masyarakat akan cenderung untuk mempertahankan posisi tersebut daripada berspekulasi dengan memilih pasangan lain yg belum terbukti. Jika masyarakat memprediksi bahwa kinerja pasangan Agus-Sylvi dan Anies-Uno sama atau hanya sedikit lebih baik daripada Ahok maka masyarakat akan cenderung lebih memilih Ahok-Jarot yang sudah pasti/diketahui kinerjanya.
Ini sesuai dengan peribahasa “ harapkan burung terbang tinggi, punai di tangan dilepaskan”. Artinya hasil yg sudah pasti lebih pantas dipertahankan dibandingkan dengan hasil yg belum pasti. Demikian juga ini sesuai dengan teori keuangan lain yg disebut “Bird-in hand theory”. Yang menyatakan bahwa investor lebih menyukai dividen (untung yg sudah pasti diterima) daripada untung yg tidak dibagikan (baru potensi, belum terealisasi).
Kembali ke teori Loss-Aversion Bias. Menurut teori ini petahana hanya bisa dikalahkan jika :