SBY menganjurkan pihak-pihak yang kalah untuk legowo (berbesar hati), mengakui dan mengucapkan selamat kepada yang menang (Kompas.Com, 21 Juli 2014). SBY sendiri sudah mempraktekkan dengan tepat apa yang dianjurkannya tersebut pada waktu partainya kalah dalam pemilhan legislatif yang lalu.
Namun Presiden juga menyatakan kalau ada ketidakpuasan hendaknya disalurkan dan diselesaikan dengan cara yang elegan melalui jalur hukum. Menempuh jalur hukum adalah cara yang sah dan terhormat dibandingkan dengan cara-cara anarkis, amuk masa dan pengrusakkan.
SBY sama sekali tidak menyebut nama kepada siapa anjuran tersebut dialamatkan. Anjuran yang baik tersebut berlaku umum, untuk semua orang, untuk kita semua.
Penulis teringat kepada pengalaman SBY sendiri dalam 2 kali pilpres yang ia menangkan dengan suara mutlak 60%, baik dalam menghadapi incumbent maupun sebagai incumbent. Dengan selisih yang sangat besar pun pihak pesaing tidak mau mengakui kekalahan apalagi mengucapkan selamat. Bahkan sampai mereka mengajukan gugatan ke MK namun tidak bisa memberikan bukti2 objektif terkait tuduhan mereka,
Dengan kemenangan yang merata di semua propinsi, dengan suara rata2 60% pun pada waktu itu, JK sebagai capres yang hanya memperoleh 12% pun tidak percaya dan ia mengajukan gugatan juga. Demikian juga PDIP mehajukan gugatan dengan tuduhan kekalahan mereka diakibatkan kecurangan. Namun gugatan mereka tidak disertai bukti kongkrit sehingga ditolak.
Sampai dengan masa jabatan SBY hampir habis sekarang ini beliau tidak pernah menerima ucapan selamat dan pengakuan kekalahan dari capres-capres yang dikalahkannya. Selama 10 tahun pemerintahannya prestasi SBY yang sangat tinggi yang membawa Indonesia naik kelas masuk dalam jajaran negara2 G-20. SBY membuat Indonesia sekarang ini menjadi negara yang lebih disegani di dunia internasional. Dengan segala prestasi dan keberhasilan pun mereka tetap saja tiada henti meluncurkan permusuhan, kecaman, tuduhan, kecurigaan, dan tidak jarang hujatan dan ejekan dari pengikut2 capres2 tertentu. Ada yang sampai sekarang bahkan enggan untuk bertemu dan menyapa beliau. Kalau orang dengan posisi “The King Maker” saja bersikap seperti itu apalagi “The King” yang didukungnya. Buah tidak jatuh jauh2 dari pohonnya. Keteladanan itu penting.
Tentunya SBY tidak mau semua itu terulang lagi. Karena itu beliau mempersilakan menempuh jalur hukum, dan setelah itu pihak yang dikalahkan hendaknya legowo.
Kepada Bapak Prabowo anjuran SBY tersebut juga berlaku tentunya. Dengan dukungan kurang lebih setengah dari populasi tentunya adalah sah jika Bapak menempuh jalur hukum jika memang ada indikasi kecurangan masif yang mempengaruhi hasil pemilu. Namun gugatan tersebut harus disertai bukti kongkrit dan objektif. Di samping bukti objektif, selain itu masih tergantung pula dari objektivitas dan kebijaksanaan para hakim MK.
Setelah menempuh jakur hukum tentunya apapun hasilnya tentu harus diterima dengan lapang dada. Peranan Bapak, dengan dukungan separoh rakyat,sangat diperlukan untuk mengontrol pemerintahan yang akan datang.
Di dunia yang tidak sempurna ini adakalanya diijinkan terjadi ketidakadilan, ada harapan2 yang tidak terpenuhi, ada pemimpin yang tidak layak malah dipilih, ada yang curang malah menang, namun itu adalah kenyataan yang harus diterima dengan lapang dada dan ikhlas. Mungkin justru suatu rahmat bagi Bapak tidak diberi kemenangan saat ini karena jika Bapak menang saat ini kemenangan tersebut akan terasa kurang sedap. Ikhlaskanlah pihak sana saja yang menang saat ini. Kemenangan dalam batin lebih berarti daripada kemenangan semu yang tidak sedap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H