Mohon tunggu...
Sutan Dijo
Sutan Dijo Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pria

Saya tinggal di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Risiko Manusia yang Terbesar

10 Maret 2010   16:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:30 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hal apakah yang paling buruk yang mungkin dapat menimpa seorang manusia, seperti Anda dan saya? Apakah Anda pernah memikirkannya?

Terkena penyakit berat yang tak tersembuhkan, sakit kanker, kesakitan yang amat sangat, menjadi cacat, tubuh yang rusak, buta, tuli, buntung, buruk rupa, kehilangan harta benda, menjadi sangat miskin, dipermalukan, dihina, kehilangan nama baik, depresi, merasa hidup tak berguna, kesepian, tak punya harapan apa-apa, kesedihan yang sangat, dikhianati orang yang dicintai, kegelisahan yang sangat, dst.

Jenis-jenis penderitaan yang disebutkan di atas sangat berat. Satu penderitaan saja mungkin sudah cukup untuk membuat orang-orang tertentu ingin mengakhiri hidupnya. Tetapi seberat dan sebanyak apapun penderitaan kita di dunia ini pasti ada batas waktunya, ada batas ukurannya, dan ada jalan keluarnya.

Dalam dunia ini, jika tubuh mengalami penderitaan yang terlalu berat ia menjadi pingsan atau mati. Demikian juga halnya dengan jiwa, jika mengalami tekanan yang terlalu berat ia menjadi kehilangan kesadaran atau menjadi gila. Seberat apapun masalah kita di dunia ini pasti ada jalan keluarnya. Sekalipun jalan keluarnya ( yang paling buruk ) adalah kematian. Waktu pasti akan berlalu dan kematian akan mengakhiri segala penderitaan itu.

Tetapi apakah ada hal yang lebih buruk lagi?

Jawabannya : ada! Yaitu jika Tuhan itu ada. Jika firman-Nya itu benar. Jika neraka dan surga itu benar-benar ada.

Hal yang paling buruk yang dapat menimpa manusia ialah jika ia dimasukkan ke dalam neraka!  Ini adalah suatu resiko yang melekat pada diri seorang manusia.

Dan hal yang paling bodoh yang dapat dilakukan untuk menghindari resiko itu adalah dengan melakukan tepat seperti apa yang dilakukan oleh seekor burung unta. Seekor burung unta, yang berbadan besar tetapi mempunyai leher yang panjang dan kepala yang kecil, menghadapi bahaya ditembak oleh para pemburu. Oleh karena itu ia mencoba menyembunyikan dirinya. Tetapi hanya kepalanyalah yang disembunyikannya. Sedangkan tubuhnya yang besar sama sekali tidak tersembunyi. Dapat ditebak bahwa para pemburunya dapat dengan mudah menghabisi makhluk bodoh yang mencoba menipu dirinya sendiri itu.

Adalah bodoh mencoba lolos dari api neraka dengan cara menyangkali keberadaan neraka itu sendiri. Mencoba lari dari Tuhan dengan menyangkali keberadaan-Nya adalah perbuatan yang sangat berbahaya! Dan itulah yang dilakukan oleh banyak orang, termasuk kaum ateis dan darwinis. Juga orang-orang yang agnostik ( tidak peduli).

Jika neraka ada, maka seseorang yang masuk ke tempat itu benar-benar menghadapi masalah besar. Itu adalah masalah atau penderitaan yang tidak ada jalan keluarnya. Waktu tidak lagi dapat menjadi jalan keluar. Penderitaannya akan terjadi terus menerus tanpa batas waktu. Di sana dia dipisahkan dari Allah dan dari segala yang baik selama-lamanya; karena ia telah menolaknya. Hanya yang tidak baiklah yang akan menjadi bagiannya seterusnya. Sesungguhnya semua jenis penderitaan di dalam dunia ini hanyalah semacam bayangan atau gambaran dari yang terdapat di neraka itu sendiri.

Di dalam neraka penderitaan apapun yang menimpanya, seberat apapun,  tidak akan membuatnya kehilangan kesadaran.  Sehingga ia benar-benar dapat merasakan sampai sepenuh-penuhnya rasa sakit dari penderitaan itu. Dan penderitaan itu adalah penderitaan yang benar-benar lengkap dan nyata. Murka Allah tertimpa atas tubuh dan jiwanya!

Dia akan berada di tempat yang benar-benar sangat buruk. Tempat itu adalah tempat yang gelap total dan  berbau sangat busuk yang lebih busuk dari bau yang paling memuakkan di dunia ini. Tempat itu sangat panas, sangat tandus dan pengap yang sangat menyesakkan nafas. Binatang-binatang yang sangat menjijikkan merayap memenuhi tempat itu. Juga ada makhluk-makhluk yang luar biasa jelek dan bengis rupanya.

Tubuhnya akan terbakar oleh api sampai meleleh, disertai rasa sakit yang luar biasa. Ulat-ulat yang tidak bisa mati menggerogoti tubuhnya. Tubuhnya begitu jelek, mengerikan, menjijikkan dan berbau sangat busuk. Rasa sakit, nyeri, panas, haus, lapar, sesak nafas menyiksanya tanpa henti. Tidak ada waktu istirahat barang sebentarpun dari semuanya itu. Telinganya akan terus mendengar jeritan histeris kesakitan dari jiwa-jiwa yang disiksa. Semua indranya berfungsi dengan sangat baik, kesadarannya tetap terjaga selamanya, untuk dapat merasakan semua penderitaan itu secara sempurna. Tak ada ketenangan dan istirahat barang sedikitpun bagi tubuh, pikiran dan jiwanya.

Jiwanya begitu gelisah dan tersiksa. Ingatan-ingatannya pada kehidupannya dulu di dunia menimbulkan rasa sesal yang sangat mendalam. Ada rasa keterpisahan, kesepian, kesedihan, kemarahan, kebencian dan kehampaan yang sangat nyeri. Rasa malu dan hina yang amat sangat dia rasakan sepenuh-penuhnya. Di sana ingatan akan Tuhan akan terhapus dari pikirannya sehingga dia merasa tidak punya harapan apa-apa lagi. Di sana dia bukan apa-apa, bukan milik siapa-siapa, tidak memiliki siapa-siapa lagi dan tidak memiliki apa-apa lagi. Dia tidak mempunyai harga diri dan martabat sedikitpun. Dia tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Penderitaan yang  benar-benar lengkap sehingga depresi yang paling berat di dalam dunia tidak ada artinya dibandingkan dengan penderitaan yang sedemikian itu!

Dan bayangkan jika selama kita hidup di muka bumi ini kita selalu senang dan bahagia. Kita mempunyai tubuh yang indah dan sehat, wajah yang cantik atau tampan. Kita begitu cerdas, bijaksana dan penuh dengan bakat-bakat alami. Kita mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Kita mempunyai pembawaan sifat-sifat yang baik dan dikagumi manusia, seperti ramah, pandai bergaul, menarik, menyenangkan, dsb.

Di samping itu semua kita adalah seorang yang terkenal karena kepandaian, kekayaan dan karya-karya dan pengabdian kita. Kita mempunyai reputasi yang begitu tinggi dan begitu dikagumi oleh semua orang. Kita mempunyai teman-teman yang menyenangkan dan menikmati pergaulan yang indah dengan mereka. Kita mempunyai rumah besar nan indah menyenangkan, dengan keluarga yang bahagia, istri atau suami yang dicintai dan anak-anak yang membanggakan. Karir kita begitu cemerlang. Dan kita adalah orang yang sudah banyak berjasa bagi bangsa dan negara. Pendeknya kita mempunyai segala hal yang terbaik yang mungkin dalam hidup ini.

Tetapi bayangkan, bagaimana jika untuk mendapatkan kehidupan yang seperti itu di bumi, selama 70 atau 80 tahun, kita harus menukarnya dengan ini : setelah kita mati, kita ditentukan untuk masuk ke dalam neraka. Jika ada klausula seperti itu yang berlaku bagi hidup kita, masihkah hidup yang semacam itu adalah hidup yang berharga bagi kita?  Kita sekarang mempunyai gambaran barang sekilas mengenai betapa fananya kita. Betapa pentingnya bagi kita untuk mendapatkan jaminan ( asuransi ) keselamatan terhadap kemungkinan tertimpa bencana yang tak tertanggungkan oleh siapapun tersebut.

Pertama, jangan sekali-kali meremehkan atau mengabaikan suatu resiko yang begitu serius akibatnya kalau itu benar-benar terjadi, apalagi yang  bahkan tidak dapat kita tanggung. Kalau ada suatu hal yang bisa memperbesar  resiko seseorang masuk ke dalam suatu masalah serius, itu tidak lain adalah sikap meremehkan masalah tersebut itu sendiri. Sikap meremehkan bukannya menghindari atau mengurangi resiko tetapi justru memperbesar kemungkinan terjadinya resiko tersebut.

Sering kita mendengar kata ‘neraka’ diucapkan dengan nada ringan bahkan gurau, bukannya ditanggapi dengan serius. Bahkan kata-kata yang kedengarannya seriuspun sebenarnya sangat meremehkan kenyataan yang sebenarnya : “ Insya Allah saya bisa masuk surga.” Atau “ Semoga dosa-dosanya diampuni dan dia diterima di sisi-Nya” Bukankah jika tidak masuk surga berarti masuk neraka?! Tidak ada pilihan lain.

Jika saya sedang dalam proses seleksi untuk menjadi seorang karyawan, saya dapat berkata : “Mudah-mudahan ( insya Allah ) saya diterima bekerja.” Kemungkinan terburuknya adalah saya tidak dapat diterima. Memang menyedihkan dan mengecewakan tetapi saya masih dapat menanggungnya. Saya masih bisa mencoba lagi melamar ke perusahaan lain, bisa berwiraswasta, dan lain sebagainya. Pendeknya resikonya masih mampu saya tanggung.

Atau misalnya masalahnya lebih berat. Saya harus menjalani operasi yang, kalau tidak berjalan dengan baik saya bisa menjadi cacat atau bahkan meninggal. Saya dalam hal ini masih bisa berkata : “Insya Allah operasi ini akan berhasil.” Kalaupun tidak berhasil, walau resikonya sangat berat, saya pasrah, toh saya masih bisa menanggungnya. Resiko terbesar situasi tersebut adalah kematian, yang justru bisa juga menjadi jalan keluar yang terakhir.

Tetapi yang ini masalahnya lain. Bagi saya, sangat mengerikan untuk berkata : “ Mudah-mudahan saya lolos dari neraka dan masuk surga.” Sungguh, saya benar-benar tidak sanggup untuk menanggung resiko terburuknya : masuk neraka! Saya memerlukan dan menginginkan jaminan penuh. Bukan mudah-mudahan. Dari Tuhan sendiri tentunya.

Ada ajaran yang mengatakan bahwa dengan berbuat baik, melakukan amal dan ibadah dengan sebanyak-banyaknya akan membuat ‘neraca’ kita menjadi positif, dan membuat kita masuk surga. Jadi seolah kita mempunyai semacam ‘rekening bank rohani’ yang menampung segala perbuatan baik dan jahat kita. Perbuatan-perbuatan baik, amal dan ibadah berarti penyetoran dan berbuat dosa adalah penarikan. Jika rekening kita positif kita masuk surga, sebaliknya jika rekening minus masuk neraka.

Tidakkah hal demikian benar-benar merupakan tindakan spekulatif dengan resiko yang tak tertanggungkan. Bagaikan berjudi dengan resiko kalah yang sangat besar. Alangkah bodohnya jika seseorang tetap memaksa diri menempuh jalan yang diketahui dengan pasti mengandung resiko yang sangat besar. Di neraka tidak ada jalan lagi untuk berbalik.

Letak masalahnya, pertama, perbuatan baik manusia tidak sempurna dan tidak murni karena datang dari hati dan pikiran yang cenderung berbuat dosa. Jika manusia berbuat baik belum tentu didasari motivasi yang baik, dan di samping itu dia sendiri cenderung untuk tidak menyadari motivasi hatinya sendiri. Jadi perbuatan baik manusia itu bisa menjadi seperti kain kotor di hadapan Tuhan yang mahasuci tanpa dia sendiri menyadarinya.

Kedua, tidak seperti rekening bank biasa, siapakah yang dapat mengetahui dengan pasti ‘mutasi’ dan ‘saldo’ dari ‘rekening bank rohaninya’? Siapa yang tahu bahwa rekening bank rohaninya dalam keadaan minus atau plus? Saldo kita baru akan dilaporkan pada waktu kita sudah berakhir di dunia ini. Dan pada waktu itu sudah sangat terlambat untuk melakukan tindakan penyelamatan apapun. Akibatnya adalah ini : ketidak pastian keselamatan itu masih tetap ada. Resiko besar itu masih tetap mengancam. Keselamatan tetap akan dikatakan ‘ Insya Allah ‘, yang artinya tidak lebih daripada ke-tidakpasti-an.

Saya minta maaf jika perenungan saya ini mengusik ketenangan Anda, bahkan menimbulkan rasa takut.

Dari "The Answer"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun