Hari-hari ini nampaknya Menkominfo Tifatul Sembiring dipusingkan oleh masalah pertikaian antara Indonesia dengan RIM, produsen smartphone Blackberry. Belakangan Menteri Perindustrian MS. Hidayat juga mulai gerah oleh ulah RIM.
Inti masalahnya adalah RIM yang menjual sangat banyak produknya ke Indonesia justru mendirikan pabriknya di Malaysia. Jumlah penjualan BB di Malaysia hanya sekitar 400ribuan setahun, sedang di Indonesia 10X lipatnya, bahkan tampaknya akan cenderung meningkat. RIM yang menikmati penghasilan dari penjualan BB ditambah penjualan jasa layanan BBM, justru akan membangun pabriknya di Malaysia. Indonesia hanya akan dijadikan pasar saja. Ditinjau dari segi apa pun situasi ini tidak adil bagi Indonesia; ini sama sekali bulan jenis deal yang saling menguntungkan. Dan akan mengherankan sekali jika Indonesia diam saja terhadap situasi seperti ini.
Menperin MS Hidayat mengusulkan pengenaan pajak barang mewah atas BB dari RIM, sebagai balasan atau kompensasi dari keputusan RIM tsb di atas. Sebaliknya Kemenkeu tidak setuju dengan usul tsb dengan alasan bahwa tindakan itu justru akan meningkatkan penyelundupan, yang akhirnya justru akan merugikan Indonesia.
Saya sependapat dengan Menkeu yang tidak setuju dengan pengenaan pajak barang mewah atau peningkatan tarif bea masuk. Nampaknya keberatan kemenkeu ini dikarenakan mereka menyadari bahwa aparat Bea Cukai Indonesia masih sangat lemah dan kurang efektif dalam megatasi penyelundupan. Jika kebijakan ini dilakukan nanti justu penerimaan negara dari pajak dan cukai menurun, karena penjualan BB selundupan yang akan meningkat. RIM tetap akan menikmati penjualan yg tinggi bahkan akan makin tinggi, karena BB selundupan ini lebih murah, sebaliknya Indonesia yg lebih dirugikan.
Tapi keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Pasti ada solusi2 lain yg bisa ditemukan dan dijalankan. Diharapkan Bpk. Tifatul cs. bisa memberikan solusi yg lebih cerdik dan efektif.
Salah satu solusi yang mungkin bisa dijalankan adalah dengan mengenakan charge, dalam bentuk atau nama apa pun, atas pendapatan RIM dari jasa layanan BBM. (Biasanya para pengguna BB juga membayar atas jasa layanan BBM /Blacberry Messenger kepada RIM via operator selular.) Saya tidak tahu apakah selama ini terhadap RIM sudah dikenakan pajak penghasilan atas pembayaran ke luar negeri tsb?
Pemerintah, dalam hal ini Menkominfo dan Menkeu (atau Dirjen Pajak) seharusnya berkoordinasi untuk mengenakan pajak yg tinggi (pajak atas barang/jasa mewah?) atas pembayaran dari WNI kepada RIM atas jasa layanan BBM ini, paling tidak sebesar 100% atau katakanlah USD 5 setiap bulan. Ini akan mejadi kompensasi yg adil atas ketimpangan yg terjadi antara Indonesia dan RIM seperti telah dijelaskan di atas.
Jika kebijakan ini tidak diambil maka RIM akan semakin merajalela (menangguk keuntungan besar) di Indonesia, sedang Indonesia tidak memperoleh apa2. Kita tunggu saja apakah Bpk. Menkominfo (dan Menkeu/Dirjen Pajak) cukup mempunyai keberanian dan kecerdikan dalam menghadapi sepak terjang RIM? Ataukah mereka ternyata hanya sekedar ayam sayur atau macan kertas saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H