Nilai Rupiah terus megalami depresiasi sepanjang tahun ini. Enam bulan lalu kurs Rupiah terhadap dolar baru saja menyentuh 13 ribu, sekarang sudah lepas landas dari 14 ribu. Penulis memprediksi nilai Rupiah akan mencapai titik ekuilibrium atau keseimbangan antara 15 ribu sampai 20 ribu. (Sementara ada ekonom kepercayaan Presiden Jokowi yang percaya bahwa rupiah akan kembali ke kur 13 ribu.)
Apakah depresiasi rupiah berhubungan dengan menurunnya kondisi perekonomian Indonesia? Apakah keadaan sekarang mirip dengan krisis moneter-ekonomi pada tahun 1998 dan 2008?
Ada perbedaan dan persamaan antara “krisis” 1998, 2008 dan sekarang, 2015. Pada tahun 1998 krisis dipicu oleh kegagalan ekonomi suatu negara yang menyingkapkan kerapuhan ekonomi negara tersebut dibandingkan dengan apa yang diestimasi oleh analis dan investor. Kemudian para analis-investor melakukan reanalisis dan revaluasi (koreksi ) atas kurs mata uang seluruh dunia terhadap dolar agar lebih mencerminkan fundamental (nilai intrinsik) yang sesungguhnya. Akibatnya Rupiah terkoreksi sehingga nilainya menjadi hanya kira-kira seperempat nilai semual terhadap dolar. Koreksi tersebut mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia saat itu yang sebenarnya rapuh akibat maraknya praktek korupsi di negara ini. Pada waktu itu ekuilibrium Rupiah terhadap Dolar terjadi pada nilai di sekitar 10 ribuan. Setelah nilai ekuilibrium baru tercapai kondisi perekonomian dunia (dan Indonesia) berangsur pulih kembali.
Pada tahun 2008 krisis disebabkan karena para analis-investor salah dalam melakukan valuasi terhadap investasi pada Subprime Mortgage (overvaluasi, bubbles). Setelah terjadi koreksi terhadap nilai investasi mereka (yang mengakibatkan kerugian besar dan kebangkrutan banyak investor dan institusi keuangan ) tercapai ekuilibrium baru pada nilai-nilai investasi. Setelah ekuilibrium baru tercapai ekonomi pulih kembali.
Pada tahun-tahun belakangan ini “krisis moneter” atau depresiasi matauang seluruh dunia terhadap dolar mencerminkan analis-investor sedang melakukan revaluasi ulang. Berbeda dengan kondisi tahun 1998 revaluasi ini terjadi justru karena dolar dianggap undervalue terhadap matauang lain (termasuk Yen Jepang dan Euro). Khusus untuk Yuan Tongkok, karena mekanisme pasar tidak bisa melakukan koreksi terhadapnya maka pemerintah Tiongkok sendiri yang harus merevaluasi (devaluasi) matauangnya tersebut. Prediksi penulis devaluasi Yuan tersebut akan kembali dilakukan sampai tercapai ekuilibrium yang baru.
Depresiasi matauang dunia terjadi karena kekuatan ekonomi Amerika relatif terhadap negara-negara lain sedang direvaluasi. Hal ini terjadi karena sedang terjadi perubahan yang signifikan pada fundamental ekonomi Amerika.
Amerika berubah dari negara pengimpor energi terbesar menjadi negara yang swasembada energi, bahkan akan surplus energi. Bila kekuatan sektor energi ini disinergikan dengan dominasi Amrik terhadap produksi pangan dunia, teknologi, sains , informasi, pendidikan dan militer, maka akan terjadi keseimbangan global baru di bidang ekonomi dan geopolitik. Pendek kata, Amerika bakal semakin” jagoan”. Perubahan ini direspon dengan melakukan penilaian ulang atas kurs dolar (karena kurs matauang adalah bagaikan nilai saham dari suatu negara).
Ketika ekuilibrium belum tercapai, masih dalam proses valuasi, maka pengusaha dan investor mengambil posisi rileks, menunggu ekuilibrium tercapai. Perekonomian dunia (dan Indonesia) disebabkan mesin ekonomi yang sedang rileks, istirahat (sehingga ekonomi mengkerut, kontraksi), menunggu selesainya proses valuasi. Mengkerutnya perekonomian inilah yang menyebabkan naiknya tingkat pengangguran dengan segala eksesnya.
Kondisi Ekonomi Indonesia
Fundamental ekonomi Indonesia baik-baik saja. Depresiasi rupiah tidak mencerminkan kelemahan fundamental ekonomi, karena matauang negara-negara lain, ternasuk Ausi, Yen dan Euro mengalami hal yang sama.