Mohon tunggu...
Sutan Dijo
Sutan Dijo Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pria

Saya tinggal di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Cara Berpikir ‘Kristen’ Liberal: Menggergaji Dahan Tempat Mereka Duduk

17 Mei 2010   16:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:09 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan. Karena ia melihat dan mengetahui semua realitas sebagaimana adanya, tanpa dibatasi oleh keterbatasan apa pun. Impilikasi dari adanya kebenaran mutlak adalah bahwa manusia yang bersifat relatif tidak bisa menghakimi Allah dan firman-Nya yang bersifat mutlak ( absolut ). Yang lebih rendah levelnya tidak bisa menghakimi yang lebih tinggi levelnya. Yang mahatahu tidak bisa dihakimi oleh yang terbatas. Kebenaran mutlak tidak bisa dihakimi oleh kebenaran relatif.

Mengkritik Allah sama saja dengan memotong dahan tempat ia duduk. Jika ia mengatakan Allah itu tidak adil, darimanakah ia bisa memperoleh konsep ‘adil’ itu selain dari Allah yang mahaadil? Jika ia mengatakan Allah tidak benar darimana ia memperoleh pengertian ‘benar’ itu? Jika ia mengatakan Allah itu kejam, dengan dasar apa ia menilai? Darimana ia tahu? Yang bisa-salah tidak bisa menghakimi Yang Tidak Bisa Salah. Allah selalu menang jika diadili, Ia tidak bisa dibantah. Demikian juga firman-Nya, Alkitab itu.

Alkitab, karena berasal dari Allah, juga tidak bisa dibantah dan dikritisi. Manakala seorang teolog mulai mengkritik Alkitab dan mempertanyakan otoritasnya pada waktu itu pula ia sudah menjadi murtad karena ia menyangkali Allah dan firman-Nya sebagai kebenaran yang mutlak bagi dirinya. Ia memotong dahan tempat ia duduk, standar kebenaran mutlak itu. Dan sekarang ia menjadikan dirinya ( seolah-olah ) kebenaran mutlak karena ia mau bertindak sebagai hakim. Dan karena kebenaran mutlaknya itu sesungguhnya bersifat virtual, karena dari dalam manusia yang terbatas tidak mungkin ada kebenaran sejati, ia sedang duduk di awang-awang, ia tidak punya tempat berpijak yang sesungguhnya. Kebenaran yang bersumber tidak dari Allah yang dijadikan mutlak hanyalah merupakan kebenaran mutlak virtual.

Dalam studi apapun selalu ada subyek dan obyek. Dalam kebanyakan jenis studi orang yang mengadakan studi adalah subyek. Tetapi sebaliknya dalam studi Alkitab orang yang mengadakan studi adalah obyek, sedangkan Alkitab menjadi subyeknya, karena Alkitab tidak bisa dinilai atau dikritik. Alkitab adalah kebenaran mutlak, yang tidak bisa salah, karena ia datang dari Allah. Tanpa pengertian itu maka seseorang akan menjadi hakim atau kritikus, yang akan menempatkan dirinya di atas Alkitab. Tetapi manusia bukanlah kebenaran, jadi kebenaran harus datang dari luar manusia, yaitu dari Allah, melalui Alkitab. Jadi Alkitab-lah yang harus menjadi hakim atau penilai atau kritikus bagi seseorang yang mempelajarinya. Bukan sebaliknya.

Dengan kata lain kebenaran mutlak ( Alkitab ) harus dibaca dengan maksud untuk mengerti apa yang dikatakannya dan untuk mentaatinya. Sedangkan tujuan membaca buku-buku lain adalah untuk memahami isinya dan kemudian menilainya apakah buku tersebut mengandung kebenaran atau tidak dengan mengacu kepada kepada apa yang dianggap sebagai suatu kebenaran mutlak. Jadi kebenaran mutlak berfungsi sebagai suatu patokan atau standar kebenaran atas semua kebenaran relatif.

Kebenaran mutlak hanya dapat datang dari Allah. Tetapi bagaimanakah caranya seseorang bisa sampai mempercayai sesuatu sebagai suatu kebenaran mutlak bagi dirinya sendiri? Jika suatu kebenaran mutlak tidak bisa dinilai bagaimana kita bisa mengetahui bahwa ia memang benar? Jika saya tidak boleh menghakimi Alkitab untuk menilai kebenarannya bagaimana saya bisa tahu bahwa ia adalah benar-benar suatu kebenaran mutlak?

Pertanyaan di atas memang kelihatan logis tetapi sebenarnya bermasalah. Karena bagaimana kita bisa menilai sesuatu itu benar atau salah tanpa suatu patokan? Kita pasti harus menggunakan suatu patokan untuk menilai atau mengukur sesuatu. Tetapi bagaimana cara menilai patokan itu sendiri? Kalau ia dinilai dengan suatu patokan tertentu yang lain berarti ia sudah berhenti mejadi suatu patokan.

Misalnya untuk untuk mengukur suatu tongkat untuk menguji apakah panjangnya benar-benar 1 meter saya harus membandingkannya dengan menggunakan penggaris yang panjangnya satu meter. Jadi penggaris tersebut merupakan suatu patokan atau standar kebenaran. Tetapi bagaimana saya tahu bahwa penggaris tersebut panjangnya satu meter? Dengan apa saya hendak mengukurnya?

Jelaslah bahwa suatu kebenaran mutlak tidak bisa dihakimi atau dinilai. Ia cuma bisa diterima begitu saja secara pribadi berdasarkan keputusan kehendak bebas kita. Dan keputusan itu seharusnya didasari bukti-bukti dan alasan-alasan yang bisa diterima oleh nalar kita. Kalau tidak demikian maka kita hanya akan menyesatkan dan menipu diri kita sendiri.

Tetapi karena manusia memiliki kehendak bebas, ia dapat memilih untuk bersikap rasional atau tidak. Rasional di sini adalah sesuai dengan tingkatan kemampuan dan pengetahuan seseorang. Jadi apa yang cukup rasional bagi seseorang belum tentu cukup memuaskan bagi rasio orang lain.

Tetapi sekali lagi saya tekankan di sini bahwa bukti-bukti dan alasan-alasan rasional tersebut bukanlah berfungsi untuk menilai atau menghakimi apakah ia (kebenaran mutlak tsb) benar atau tidak. Tetapi untuk menjadi dasar pertimbangan bagi rasio kita apakah sesuatu itu layak untuk kita percayai sebagai suatu kebenaran mutlak bagi kita atau tidak.

Jadi kesimpulannya : kebenaran mutlak itu harus berasal dari Allah, yaitu sumber yang tidak bisa salah, dan kebenaran mutlak tidak bisa dihakimi / dinilai benar salahnya. Ia hanya bisa diterima ( atau tidak diterima ) sebagai kebenaran mutlak kita berdasarkan keputusan kehendak bebas kita sendiri. Adapun keputusan itu (seharusnya) didasari oleh adanya bukti-bukti dan alasan-alasan yang bisa diterima oleh rasio kita.

Para teolog liberal yang mempertanyakan otoritas dan kewibawaan Alkitab secara otomatis mereka sudah menempatkan diri mereka sendiri dalam posisi yang salah total secara konseptual. Bagaimana mungkin kebenaran manusia menghakimi kebenaran Allah. Bagaimana mungkin manusia yang bisa salah menghakimi kebenaran mutlak yang tidak bisa salah? Kalau demikian halnya tentu bagi mereka Alkitab itu sudah tidak lagi menjadi kebenaran mutlak bagi mereka. Mestinya mereka memiliki kebenaran mereka sendiri sebagai acuan.

Yang menjadi pertanyaan adalah : dasar kebenaran apakah yang digunakan oleh para teolog liberal, para darwinis dan para ateis manakala mereka mengkritik Alkitab, firman Allah? Dan kalau mereka memang memilikinya apakah itu didukung oleh bukti-bukti yang cukup kuat, dan cukup beralasan? Apakah kebenaran yang mereka percayai itu memenuhi syarat-syarat sebagai kebenaran mutlak seperti yang disebut di atas? Yaitu universal, lintas ruang, lintas waktu, integral dan tanpasalah. Dalam hal ini sebenarnya jawabannya sudah jelas, bukan?

Pada waktu mereka mulai mengkritisi Alkitab pada saat itu pula mereka sudah melanggar kesakralan Kitab Suci. Mereka sudah berbalik menjadi hakimnya dan ( dengan sendirinya ) langsung mengambil kesimpulan ( keputusan ) sebelum membuktikannya. Kesimpulan itu adalah bahwa Alkitab bukan kebenaran mutlak.

Bagaimana mungkin mereka mau membuktikan bahwa Alkitab bukan kebenaran mutlak jika mereka sudah mengambil asumsi terlebih dahulu bahwa Alkitab adalah bukan kebenaran mutlak. Suatu argumentasi atau penalaran menjadi tidak sah dan gugur dengan sendirinya manakala asumsi yang dipakai dalam melakukan suatu penalaran atau pengujian tersebut adalah justru menjadi kesimpulan itu sendiri. Hukuman atau keputusan yang dijatuhkan sebelum seseorang diadili dan dibuktikan bersalah adalah suatu kejahilan.

Lalu dasar atau ukuran apa yang dipakai untuk menghakimi Alkitab? Kalau para filsuf dan teolog liberal mulai menghakimi Alkitab, maka pendapat mereka akan berbeda-beda. Kalau mereka ada seribu orang maka akan ada seribu pendapat yang berbeda, dan mereka akan mulai saling mengkritik dan mengaku diri yang paling benar. Kalau kebenaran mutlak hanya bisa ada satu, siapakah di antara mereka yang mewakili kebenaran mutlak? Jelas sekali bahwa pendirian mereka semua tidak berdiri di atas dasar kebenaran sejati.

Yang lebih parah lagi, demi untuk membuktikan ‘kekeliruan’ Alkitab, orang yang sama mungkin saja mengambil posisi dan standar yang berbeda-beda darimana ia mulai menyerang Alkitab. Hal ini saja membuktikan bahwa ia sangat bersifat subyektif dan relatif, sehingga tidak mungkin mewakili kebenaran yang mutlak. Orang seperti ini jelas tidak mempunyai pendirian, ia tidakmempunyai kebenaran mutlak bagi dirinya sendiri, ia hanya mempunyai kebenaran virtual, ia sedang mengelabui otaknya sendiri. Sebagai contoh, ada orang yang berusaha membuktikan ‘kesalahan’ Alkitab dengan mengacu ketidaksesuaiannya dibandingkan dengan ayat-ayat suatu kitab injil yang lain, yang tidak diakui oleh jemaat. Lalu kemudian ia melakukan hal yang sama dengan mengacu kepada kitab injil yang lain lagi. Dari kedua ( atau mungkin lebih ) kitab yang dipakai sebagai acuan kebenaran bagi Alkitab, manakah yang dipercayainya sebagai kebenaran bagi dirinya sedangkan mereka itu berbeda satu sama lain. Demikianlah yang dilakukan oleh James D. Tabor, pengarang buku Jesus Dynasty dan The Lost Tomb of Jesus.

Seharusnya mereka bukannya menghakimi kebenaran Alkitab, tetapi mempertimbangkan dengan jujur apakah terdapat bukti-bukti dan alasan yang cukup kuat bagi Alkitab untuk dapat diterima sebagai kebenaran mutlak? Apakah bukti-bukti dan alasan tersebut lebih kuat daripada bukti-bukti yang mendukung kebenaran yang mereka yakini? Kalau memang mereka memilikinya. Alasan sebenarnya di balik tindakan mereka mengkritisi Alkitab tiada lain adalah karena mereka dari semula sudah memilih untuk menolak ( memberontak ) terhadap Allah.

Satu contoh lagi adalah tindakan para kaum liberal yang merusak teks kitab suci; dengan seenaknya saja memilih ‘teks yang benar’ dan ‘teks yg tidak benar.’ (hal ini mereka lakukan terhadap teks kitab suci yg melaporkan mukjizat Yesus memberi makan 5.000 orang dengan menggandakan 5 roti dan 2 ikan). Hal tsb mereka namakan ‘demitologi.’ Tapi atas dasar apa? Atas dasar karena mereka tidak percaya kepada mukjizat-mukjizat yg dicatat dalam Alkitab. Lalu apakah ketidakpercayaan mereka itu adalah suatu ‘kebenaran.’ Ya kebenaran bagi mereka, kebenaran relatif dan subjektif yang mereka jadikan kebenaran absolut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun