Salah satu butir alasan keberatan Prabowo atas hasil kerja KPU adalah rekomendasiBawaslu untuk melakukan krosscek terhadap 5.802 TPS di Jakarta tidak dilaksanakan. Di DKI, KPU hanya bersedia mengecek dan melakukan PSU (pemngutan suara ulang) terhadap 13 TPS dari 5.802 yang diduga curang. PSU yang direkomedasikan Bawaslu tsb telah dilakukan pada hari Sabtu 19 Juli 2014.
Sampai saat ini belum ada jawaban yang jelas dari KPU atas pengabaian rekomendasiBawaslu tersebut. Hal ini sangat disesalkan karena sikap KPU tersebut membuat kecurigaan semakin memuncak dan suasana menjadi panas. menurut seorang akademisi dari UI bernama Taufik Bahauddin indikasi keberpihakan KPU sudah terasa pada waktu diadakan debat capres. Dua moderator yang dipilih KPU belakangan diketahui ternyata tidak netral karena terkait dengan pihak no.2 (okezone.com, 23 Juli 2014).
Lebih lanjut menurut mantan komisioner KPU Chusnul Mariyyah, kerja KPU tidak profesional. Beliau heran mengapa KPU memaksakan menyelesaikan perhitungan dan terus mengabaikan keberatan dari salah satu capres. Padahal menurut UU pengumuman bisa dilakukan dalam jangka 30 hari setelah pencoblosan. Beliau menyesalkan mengapa KPU tidak berusaha menyelesaikan dulu berbagai masalah dan keberatan dari capres dan menunda dulu pengumuman. (Sindonews, 22 Juli 2014)
Salah satu indikasi (tapi belum bisa dijadikan bukti)kecurangan pilpres adalah dari 13 TPS yang melakukan PSU di DKI tersebut di atas ternyata suara Jokowi-JK langsung anjlok dari 4.200 menjadi 2.800 (42%) (Okezone.com, 22 Juli 2014). Artinya suara Jokowi-JK berkurang 1.800 untuk 13 TPS tersebut, dan rata2 setiap TPS adalah 138 suara yang berkurang. Sangat boleh jadi sebagian besar suara yang berkurang itu adalah hasil kecurangan. Jika hal tersebut adalah sebuah puncak gunung es, maka kalau ada 100.000 TPS yang curang jumlahnya bisa mencapai lebih dari 10 juta!
Kemudian ada kasus di Jawa Tengah dimana petugas KPPS menyortir kertas-kertas suara yang mencoblos no. 1 dan kemudian merusaknya. Aksi tersebut secara tidak sengaja terekam sebuah kamera. PSU yang kemudian dilakukan oleh KPU menghasilkan suara pasangan no. 2 turun beberapa puluh suara (artinya bisa sampai 10% dari rata2 umlah suara total per TPS). Dal;am hal ini pun tidak ada jaminan tidak ada kecurangan lagi disitu. Adalah naif jika tidak melihat kasus2 yang kebetulan ketahuan tsb sebagai suatu puncak gunung es.
Sekali lagi hal itu baru indikasi atau tanda2 awal. Untuk menjadi bukti kongkrit yang cukup untuk diajukan ke pengadilan tentunya diperlukan kerja keras, kecerdasan dan juga keberuntungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H