Mohon tunggu...
Sutan Dijo
Sutan Dijo Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pria

Saya tinggal di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

(4/7) Logiskah Teori Evolusi Darwin?

23 Agustus 2010   19:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:46 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Adalah menarik bahwa tingkat kecerdasan seseorang tidak ada korelasinya dengan kepercayaannya kepada Tuhan atau kepada teori evolusi. Menurut John C. Avise, seorang evolusionis, ( mengutip E.J. Larson dan L. Witham, “Scientist are Still Keeping the Faith,” Nature 386 (1996): 435-436.) pada 1916, James Leuba melakukan survey bersejarah terhadap ribuan praktisi sains perihal masalah ketuhanan. Ia menemukan bahwa 40 persen di antara mereka yang disurvey tetap meyakini suatu Tuhan personal dan kehidupan akhirat. Leuba memperkirakan keyakinan semacam itu akan terkikis secara dramatis seiring berkembangnya sains di abad terakhir ini, namun survei serupa yang dilakukan 80 tahun kemudian menunjukkan bahwa persentase ilmuwan yang masih meyakini Tuhan sebagai tujuan memanjatkan doa dengan harapan dikabulkan, nyaris sama. Jelaslah bahwa tingkat intelektualitas sesorang tidak menentukan pilihan bebas seseorang untuk beriman kepada Sang Pencipta-nya. Ilmuwan-ilmuwan yang beriman seperti Sir Isaac Newton, Thomas Alfa Edison, Michael Faraday, Blaise Pascal, Albert Einstein, dan lain-lain, tidak kurang cerdas daripada Charles Darwin dan para pendukungnya. Agaknya agama dan sains itu tidak bertentangan karena keduanya bekerja di bidang yang berbeda, agama menyelidiki wahyu khusus dari Sang Pencipta yaitu Kitab Suci, sedangkan sains menyelidiki wahyu umum dari Tuhan yaitu, alam semesta ciptaannya dan hukum-hukum yang mengaturnya.

Gregor Mendel dan Charles Darwin adalah dua orang tokoh yang hidup pada jaman yang sama. Yang menarik di sini adalah bahwa keduanya mewakili atau melambangkan dua hal yang sama sekali berbeda, yaitu sains dan kepercayaan atau filsafat. Mendel mengembangkan ilmu tentang hereditas atau keturunan, yang merupakan cikal bakal ilmu genetika moderen. Sedangkan Darwin mengembangkan teori evolusi-nya. Mendel adalah Bapak Ilmu Genetika sedangkan Darwin adalah Bapak Teori Evolusi. Tetapi keduanya ada di bidang yang berbeda. Mendel mengembangkan sesuatu yang sepenuhnya ilmiah dan mengadakan eksperimen-eksperimen dengan metode-metode ilmiah. Ilmu genetika beranjak dari sesuatu yang sepenuhnya faktual, ilmiah dan rasional.

Sedangkan Darwin memulainya dari ketidak-percayaannya atau mungkin juga kekecewaannya kepada Tuhan ( putri Darwin meninggal pada usia 10 tahun, dan hal ini sangat memedihkan hatinya ). Atas dasar itu, bahwa tidak ada Tuhan, ia mengembangkan dan mengadopsi ‘teori kebetulan.’ Karena tidak ada Tuhan maka segala sesuatu pasti terjadi secara kebetulan atau dengan sendirinya, tidak ada yang mengatur dan mengendalikannya. Atas dasar itu ia mulai membangun suatu bangunan spekulatif dengan menyusun teori evolusi. Di atas dasar spekulasi ia membangun spekulasi berikutnya. Karena itu sebagian besar isi dari teori evolusi hanyalah  dugaan-dugaan dan pendapat-pendapat pribadi belaka. Karena dalam teori evolusi tidak ada sesuatu yang bersifat ilmiah seperti ilmu genetika yang dikembangkan oleh Mendel maka teori ini lebih tepat jika disebut sebagai suatu sistem kepercayaan atau suatu filsafat belaka alih-alih  disebut sebagai sains.

Bayangkan jika ada suatu bidang sains yang disebut sebagai “ Biologi Kristen” atau “Fisika Islam” atau “Kimia Budhis.” Kata yang pertama behubungan dengan sains sedang yang kedua adalah kepercayaan. Seorang beragama Kristen mungkin saja mempunyai pengetahuan dan keahlian teknis dalam bidang biologi yang tidak kalah dengan seorang yang beragama Hindu. Kepercayaan seseorang tidak ada hubungannya dengan keahlian teknis dan pengetahuannya. Karena itu mengawinkan kedua hal itu menjadi suatu bidang sains tersendiri adalah sesuatu yang sangat janggal ( absurd ). Tetapi anehnya di negara yang sangat maju seperti Amerika Serikat ada suatu bidang sains yang disebut dengan “ Genetika Evolusioner .” Padahal dari penjelasan di atas jelas kedua hal tersebut bagaikan besi dengan tanah liat, keduanya tidak dapat dicampurkan-adukkan. Keduanya jelas berbeda secara substansial yang satu adalah sains murni sedang yang lain adalah kepercayaan murni karena teori evolusi tidak lain adalah kepercayaan bahwa Tuhan itu tidak ada.

Menurut pendapat saya mencoba mencampur-adukkan sains dan kepercayaan jelas adalah usaha lain dari kaum evolusionis untuk mengelabui masyarakat. Teori evolusi adalah suatu sistem kepercayaan yang berusaha menyaru sebagai suatu sains. Dan salah satu dari usaha ini adalah dengan “mengawinkan” kedua hal yang sangat berbeda tersebut. Bahkan dalam berbagai paparan, dari tulisan-tulisan dan tayangan-tayangan, mereka jelas-jelas sedang berusaha mengelabui masyarakat. Bagaimana cara mereka mengelabui? Dengan menyajikan fakta-fakta ilmiah bersama-sama dengan pemaparan teori mereka sendiri. Mereka menyajikan sesuatu yang sebenarnya merupakan pendapat-pendapat pribadi, perkiraan-perkiraan dan dugaan-dugaan mereka, seolah-olah itu adalah suatu fakta yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Dan untuk memperkuat penipuan ini mereka menyandingkannya dengan hal-hal yang memang benar-benar faktual dan ilmiah. Manakala saya membaca buku “ The Genetic Gods” ( karangan John C. Avise, diterbitkan dalam Bahasa Indonesia oleh penerbit Serambi ) saya menemukan hal-hal semacam ini, ilmu genetika dicampur-baurkan dengan teori evolusi, pendapat pribadi disamarkan sebagai fakta-fakta yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Buku semacam ini telah ditulis oleh seorang yang menyebut diri ahli dalam bidang “ genetika evolusioner.” Jika seseorang membaca buku ini dengan teliti dan kritis maka nampak dengan jelas bahwa buku ini sama sekali bukanlah buku sains melainkan hanya berpura-pura demikian. Isinya yang sesungguhnya adalah berusaha membuktikan kebenaran teori evolusi dan ateisme, dan sebaliknya berusaha memojokkan dan melecehkan agama dan kepercayaan terhadap Tuhan, Sang Pencipta. Tetapi yang tidak dapat diterima adalah caranya yang mengelabui.

Berikut ini adalah suatu contoh,

“…Sesudah bermacam-macam molekul organik dengan kemampuan swareplikasi hadir, seleksi alam bisa mulai terjadi, mendorong munculnya adaptasi kehidupan terhadap lingkungan fisik. Saat kehidupan jadi makin beragam, begitu pula tekanan seleksi, menghasilkan makin banyak tantangan dan kesempatan bagi perkembangbiakan kehidupan dalam proses umpan-balik positif yang terus membantu perkembangan keragaman hayati hingga kini. 1.400 juta tahun lalu, berbagai mikroba bergabung menjadi sel-sel eukariotik pertama yang punya organel-organel dengan fungsi berbeda-beda. Sekitar 700 juta tahun lalu muncullah hewan-hewan multisel pertama, umumnya bertubuh gepeng dan lunak, dan dalam 150 juta tahun sesudahnya makhluk bertubuh keras pertama muncul dalam jumlah yang banyak dan jenis yang beragam..”

Paparan di atas sepenuhnya adalah spekulasi atau cerita khayalan dari teori evolusi dan sepenuhnya bukanlah fakta-fakta ilmiah dilihat dari segi apapun juga. Berikut ini adalah paparan yang kelihatannya berasal dari Ilmu Genetika dan sepenuhnya faktual dan ilmiah,

“…Retinitis pigmentosa adalah sederetan penyakit genetis yang ciri-nya adalah degenerasi retina mata. Penyakit  tersebut indikasi awalnya adalah susah melihat jelas pada kondisi temaram, yang berlanjut dengan semakin sempitnya jarak pandang hingga akhirnya menjadi buta di usia paruh baya. Retinitis pigmentosa merupakan contoh bahwa kerusakan pada berbagai gen bisa menimbulkan gejala klinis yang mirip atau sama, biasanya karena tiap gen tersebut ternyata berkaitan dengan jalur biokimia atau perkembangan yang sama. Gen yang menyebabkan beragam kasus retinitis pigmentosa telah dipetakan pada kromosom 3, 6, 7, 8, 11, 14, 16, dan X…”

Kedua macam paparan tersebut di atas jelas berbeda, yang satu bagaikan novel yang merupakan karya fiktif sedangkan yang lain bagaikan berita di koran yang melaporkan kisah nyata yang terjadi. Kedua hal tersebut jelas mempunyai tempatnya tersendiri yang sah. Tetapi hal itu menjadi suatu usaha penipuan manakala seseorang  mencampur-adukkan antara kisah nyata dengan cerita fiktif. Kedua macam kutipan tersebut ternyata berasal dari buku dan penulis yang sama. Ini adalah contoh yang jelas bagaimana kaum evolusionis sedang melakukan pengelabuan.

Suatu contoh lain bagaimana dunia menjadi begitu tersihir oleh teori evolusi karena kelihaian para evolusionis adalah, bagaimana Daniel Goleman seorang evolusionis yang menulis buku “ Emotional Intellegence.” Buku ini adalah contoh yang baik mengenai pengelabuan oleh para evolusionis, mengenai bagaimana fakta-fakta ilmiah mengenai otak manusia dan cara kerjanya, dicampur-adukkan dengan pendapat-pendapat teori evolusionis yang bersifat fiktif sehingga yang fiktif itu dianggap sebagai suatu fakta yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Buku ini adalah suatu karya yang luar biasa, yang diterima dengan begitu saja oleh dunia dengan tanpa berpikir lagi, yang berisi kebenaran dan kebohongan yang dimasak menjadi satu dengan cara yang sangat jenius.

Itulah yang dilakukan oleh para “ilmuwan” evolusionis. Dan saya menjadi bertanya-tanya masih dapatkah saya mempercayai adanya integritas ilmiah di kalangan mereka yang bersikukuh menyatakan bahwa mereka ( dan orang lain ) adalah keturunan sejenis kera, dan bukannya ciptaan Tuhan yang paling mulia. Menurut pendapat saya orang yang menolak Pencipta-nya sendiri adalah jauh lebih buruk daripada orang yang menolak orang tuanya, bahkan jauh lebih kurang ajar daripada seekor binatang yang menggigit tangan tuannya yang setiap hari memberinya makan.

Dan yang memprihatinkan adalah media-media di Indonesia, termasuk buku-buku pelajaran sekolah, kerap kali membeo atau menelan bulat-bulat materi apa saja yang dipaparkan oleh media-media barat yang sebagian telah dicemari oleh teori evolusi. Mungkin mereka sendiri belum menyadari bahwa teori ini adalah akar dan tiang utama dari ateisme. Menerima mereka dan menyebar-luaskannya sama saja dengan menaburkan benih-benih ateisme di Indonesia. Seharusnya penyebaran faham evolusionis, yang sebeanrnya merupakan ibu dari ateisme, dilarang di Indonesia karena kepercayaan itu benar-benar meracuni pikiran dan moral manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun