Seiring berjalannya program pemberian Dana Desa yang dimulai sejak tahun 2015 disana sini timbul masalah. Â Persoalan timbul tidak hanya menyangkut mismanajemen atau salah sasaran penerima manfaat tapi sudah masuk ranah pidana. Menurut data yang diungkapkan Presiden Joko Widodo dalam suatu kunjungan di Garut tahun 2017 lalu, terdapat 900 kepala desa yang ditahan karena menyelewengkan Dana Desa. Hal ini memunculkan keraguan apakah Dana Desa akan menjadi berkah atau malah menjadi sumber masalah?
Dana Desa yang digulirkan pemerintah dimaksudkan untuk memacu pembangunan di pedesaan. Di lain pihak ketidaksiapan pemerintah desa dalam pengelolaannya menimbulkan persoalan baru. Tentu bukan mutlak kesalahan mereka hingga terjadi permasalahan tersebut. Pemerintah pusat diharapkan memberi arahan dan batasan yang jelas bagi pemerintah desa dalam penggunaan Dana Desa yang diserahkan pada mereka. Sebenarnya cukup banyak peraturan yang mengiringi penyaluran Dana Desa seperti Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN, hingga Peraturan Menteri Desa, PDT dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2016. Peraturan-peraturan itu memberi panduan bagaimana seharusnya Dana Desa dimanfaatkan. Dikeluarkannya aturan tersebut disertai sosialisasi dan pemberian pemahaman yang cukup kepada aparat pemerintahan yang akan mengelola Dana Desa.
Salah satu amanat dalam Undang-Undang nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang harus dilaksanakan oleh pemerintah desa seiring digelontorkannya Dana Desa yaitu pembentukan Badan Usaha Milik Desa atau disingkat BUM Desa. Pembentukan BUM Desa dimaksudkan agar Dana Desa yang diterima menjadi stimulus perekonomian masyarakat desa alih-alih hanya digunakan untuk pembangunan infrastruktur seperti gedung kantor desa atau pengaspalan jalan. Namun menjadi pertanyaan seperti apa konsep BUM Desa, apakah miniatur dari BUMN/BUMD?
Semangat UU nomor 6/2014 yang memiliki 2 asas utama yaitu rekognisi dan subsidiari mendasari konsep BUM Desa. Penggunaan istilah BUM Desa untuk usaha yang dimiliki Desa baru muncul sejak UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sampai saat ini, kita pernah memiliki dua pengertian BUM Desa.
Pertama, seperti dijelaskan dalam Permendagri Nomor 39/2010 tentang Badan Usaha Milik Desa, sebagai turunan UU Nomor 32/2004. Dalam hal ini dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan BUM Desa adalah usaha desa yang dibentuk/didirikan oleh Pemerintah desa yang kepemilikan modal dan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat.
Kedua, seperti dijabarkan dalam UU Nomor 6/2014 dimana diterangkan BUM Desa yaitu : badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Desa melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan Desa yang dipisahkan guna mengelola aset, jasa pelayanan, dan usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.
Penjelasan UU Nomor 6/2014 Pasal 87 menekankan bahwa BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas, CV, atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya.
 Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam. BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Data PODES 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik beberapa waktu lalu menyebutkan terdapat 75.436 desa desa di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah BUM Desa mencapai 35 ribu. Masalahnya berbagai data menegarai bahwa sebagian besar BUM Desa masih sebatas berdiri dan belum memiliki aktivitas usaha yang menghasilkan. Sebagian lagi malah layu sebelum berkembang karena masih kurangnya pemahaman BUM Desa pada sebagian besar kepala desa.
Meski masih banyak persoalan yang melingkupi pembentukan BUM Desa namun hingga saat ini cukup banyak desa yang berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya melalui pemberdayaan BUM Desa. Kisah sukses yang dapat disebutkan misalnya Desa Ponggok, Kabupaten Klaten yang viral dengan wisata air Umbul Ponggok yang dikelola oleh BUM Desa Tirta Mandiri yang mampu meraup pendapatan Rp. 14 Milyar pada tahun 2017 lalu. Â BUM Desa Karya Jaya Abadi di Desa Amin Jaya, Kabupaten Kotawaringin Barat memilih usaha pengepul kelapa sawit hasil perkebunan rakyat yang mampu melepaskan dari jerat tengkulak. BUM Desa Pekon Mandiri Bersatu di desa Gisting Bawah, Kabupaten Tanggamus tidak hanya menghasilkan keuntungan dari wisata air namun sekaligus dapat memenuhi kebutuhan air minum bagi warga desanya.
Memang untuk mencapai keberhasilan diperlukan pengelola yang mempunyai visi dan mampu berinovasi agar  BUM Desa yang dibentuk dapat dikelola dengan baik sehingga memberi manfaat bagi masyarakat. Akan menjadi kampanye yang baik bagi petahana yang saat ini berkompetisi untuk periode keduanya dengan menunjukan keberhasilan program Nawacita-nya. Semoga akan menjadi nyata harapan bahwa Dana Desa benar-benar membawa berkah dan manfaat bagi rakyat Indonesia.