Nenek membakar sagu ketika saya menemuinya di dapur. Alat cetak sagu lempeng bernama forno terpanggang di atas bara api. Sesekali ia mengecek dengan membalikkan forno menggunakan gata-gata; alat penjepit dari bambu, memastikan kematangan sagu yang diolahnya.
Beberapa sagu lempeng merah yang telah matang ia letakan ke Susiru atau Tatapa. Saya suka melihatnya membakar sagu setelah sekian lama ia tak melakukannya.Â
Di umur yang sudah menyentuh angka tujuh puluh, fisik tak lagi mendukung melakukan pekerjaan berat. Meski ia masih kuat, bahkan bisa ke kebun seminggu sekali.Â
Berbeda dengan dulu, di periode 1990-an, ia membakar sagu setiap hari. Sagu lempeng putih dari sari pati singkong dan merah dari pohon sagu asli, sinole, sagu pisang bakar, dan sagu jari-jari. Paling biasa dibuatnya ialah sinyole, sagu daun pisang, dan kue sagu. Yang kami konsumsi dengan ikan bakar.
Yap itu makanan kami sehari-hari lantaran beras masih menjadi barang yang sulit digapai. Jika ada, itu pun harus dilakukan penghematan. Biasanya bakal diolah dengan labu kuning atau jagung kering yang digiling kecil.
Saya duduk menatapnya membakar sagu dengan serius. Ia membuat beberapa puluh lempeng sagu merah. Meski usianya sudah senja, ia masih cekatan.Â
Sejak pagi, ia memerintahkan saya membiji; mengupas dua butir kelapa tua. Sementara nenek sendiri mengayak sagu yang dua hari dijemurnya di teras rumah. Setelah membiji kelapa, ia memerintahkan untuk diparut.Â
Perintah yang saya lakukan dengan menggunakan parut tradisional bernama kukuran; terbuat dari besi yang ditajamkan bergerigi dengan kayu sebagai dudukan.