"Setiap ke kota harus basah terus," umpat salah satu warga yang hendak naik ke speedboat.Â
Celana pendek yang dikenakan bukan jaminan ia tak basah. Semabri mengumpat ia naik dari belakang. Menginjakan kaki telanjangnya di celah mesin tempel yang terapit. Ruang sempit itu digunakan oleh penumpang untuk naik ke speed boat.
Belum lagi ia benar-benar naik, ombak pantai menyapu kapal. Dan ia pun basah kuyup. Setengah badan dari kaki hingga dada tersapu.
"Pemerintah oi pemerintah. Tidak bisa apa bangun satu jembatan," umpatnya lagi.Â
Masyarakat baik yang mengantar maupun penumpang tertawa serentak. Momen itu sudah dianggap sebagai candaan ketimbang kesengsaraan.Kalau sudah basah dan pasti basah apa boleh buat. Tetap naik, dan tetap bertahan hingga pakaian yang dikenakan kering dengan sendirinya.
Ombak memang sedang mengganas beberapa hari ini. Desember seperti pertunjukan kekuatan alam. Menyapu semua pesisir kepulauan. Menggerus sejengkal demi sejengkal pasir hingga tak bersisa
Laut dan Desember tak memberi ampun buat warga melakukan perjalanan. Atau, pemilik speedboat mencari nafkah.
Tapi sekali cuaca sedikit bersahabat, tak sejengkal pun kesempatan dilewatkan. Warga berbondong-bondong ke kota mengurus keperluan. Tentu dengan konsekuensi klasik yang terus dihadapi.Â
Tiada jembatan labuh, ombak hingga ketiadaan alternatif angkutan laut. Kata kasarnya "tidak bisa memilih". Apa yang tersedia, itulah yang terpilih. Monopoli sosial, tidak punya pilihan akibat ketimpangan.