Ibu Mukiyem tampak malu-malu. Pun dengan Haris yang menjawab tergantung. Keduanya saling melirik. Setelah sedikit paksaan, keduanya pun menjawab.
"Kalau hari biasa ya 200-300 ribu. Kalau sabtu minggu bisa mencapai 500 ribu. Tergantung sebenarnya," jawab Haris.
"Bu. Apakah di sini tidak ada yang menanam kopi?" tanya saya lagi.
"Tidak ada. Banyak tanaman sayuran. Sebenarnya dulu ada," jawabnya.
Kami pun mengobrol banyak perihal kopi. Tentang kenapa kopi lokal dengan seduhan orang lokal banyak diburu. Diskusi kami pada akhirnya menjurus kepada konsep warkop yang hendak dicapai Bu Mukiyem dan Haris
"Bu. Kalau saran kami, coba tanam kopi di ladang ini. Jadikan tanaman jarak saja bu," ujar kakak saya.
Bu Mukiyem merasa tertarik. Baru pertama ia mendengar konsep kopi dan dunia perkopian. Ia mengajak saya keluar dan diminta menunjukan di mana kopi harus di tanam.Â
Saya hanya memberikan saran agar kopi bisa ditanam di pinggir dengan jarak tertentu. Bu Mukiyem semakin tertarik. Mondar-mandir lagi sebelum masuk dan ikut bergabung bersama anak dan kakak saya.
Haris lebih tertarik lagi. Anak seni ini punya banyak konsep di kepalanya. Ia tak mau warkopnya hanya sekadar warkop tetapi punya keunikan tersendiri.
Apalagi, ketika saya mengatakan banyak cafe dan warung kopi yang berdiri di sepanjang jalur ini tidak atau beluk memberikan sesuatu yang unik.