Selain sebagai petani, warung kopi yang baru didirikan beberapa tahun ini juga menjadi seumber rezekinya.Â
Setiap hari Ia membuka warung. Tepatnya dibuka saat siang hari. Hal itu lantaran banyak pelanggan saat siang hari hingga menjelang sore ketimbang pagi hari.Â
Seorang lelaki muda masuk. Menerobos langsung ke dalam dapur. Di gantung jas hujan, kemudian mengambil handpone lalu menyetel musik jawa. Ah sungguh anak lelaki ini paham betul. Suasana seperti ini patut diiringi musik.
"Ini anak saya. Yang kuliah di Solo itu," ujar Bu Mukiyem sembari menyajikan mie instan.Â
Bu Mukiyem punya dua anak. Satu anak sudah berkuliah dan satu masih duduk di bangku SMP.
Dan, anak barusan yang menyetel musik bernama Haris. Anak pertama yang kuliah Seni di Solo, sudah semester 7. Ia selalu kembali ke desa dan membantu ibunya berdagang setiap Sabtu dan Minggu. Dan kembali lagi ke Solo Minggu malam.
Susasana masih kabut walau hujan sudah berhenti. Obrolan dan perkenalan selalu terjalin begitu hangat. Berbagi cerita dan asal usul masing-masing.Â
"Bu, hari apa biasanya ramai?" tanya saya.
"Biasanya Sabtu dan Minggu. Kalau hari lain biasa saja. Ya satu dua pelanggan," jawab Bu Mukiyem.
"Berapa pendapatan per hari?" balasku.