Bu Mukiyem dengan cekatan membuatkan pesanan kami. Kopi yang kami pesan terlebih dulu disajikannya dengan ukuran gelas yang tak biasa. Gelas besar "ukuran tobat".Â
Hujan dan kabut semakin menjadi-jadi. Menunggu Bu Mukiyem memasak mie, saya memilih menikmati pemandangan asri di sekilingginya.Â
Melihat petani yang tak beranjak menggarap tanah, dan lalu lalang kendaraan yang terpacu kencang karena hujan.
Di belakang warkop, ladang yang digarap di lereng bukit membuat saya penasaran.Â
"Bu, ini ladang siapa?" tanyaku
" Yang mana Mas?" ia keluar mendengar pertanyaan yang saya ajukan. Setelah memahami maksud pertanyaan yang saya ajuka, ia pun menjawab.
"Oh itu ladang kami. Mau dtanam sawi. Kemarin tanam tembakau. Karena musim sudah berganti jadi kami tanam sayur," jawabnya.
Pantas saja, sebulan lalu ketika melewati jalur ini masih banyak tanaman tembakau yang tertanam. Sekarang berganti sayuran dan tanaman holtikultura lainnya.
Kami pun mengobrol perihal kondisi pertanian di sekitarnya. sebelum ia masuk dan melanjutkan membuat pesanan yang kami pesan.
Ibu Mukiyem merupakan penduduk desa sebelah. Rumahnya berada di perbukitan Gunung Merapi.Â