"Mau pesan Arabica atau Robusta?," tanya lelaki gondrong  pemilik warung kopi.
Keheranan nampak menyapa lewat pertanyaan tak biasa tersebut. Sempat menerka sesaat maksud pertanyan tersebut namun tak juga logika bersepakat. Kopi saseten yang hendak kupilih urung tertunjuk. Teralihkan dengan aktivitas lelaki berambut gondrong ini di dalam warung.
Ia sedang menyeduh kopi pesanan pelanggan. Diseduh dengan cara tak biasa. Mirip barista profesional namun dengan alat seadanya.
Kawan saya, lebih terheran-heran lagi. Penikmat kopi garis keras dengan lidah jalanan hingga cafe ini spontan berujar " loh kok bisa warung begian nyediakan penyajian kopi seperti di cafe-cafe,"Â
Wajar saja keheranan menerpa kami berdua. Sepanjang pengalaman kami, warung kopi yang berdiri seadanya di pinggir-pinggir jalan biasanya hanya menyeduh kopi saseten.
Di sobek, lalu disiram air panas dari termus atau air mendidih, kemudian disajikan. Â Warung-warung yang kecil menyediakan kopi saseten juga aneka jualan semisal mie, gorengan ataupun cemilan lain.Â
Tampilannya memang sama seperti warung kopi lain, di Gang-gang, pinggir jalan, di kawasan puncak atau jalur-jalur antar kabupaten, kota hingga provinsi.Â
Menariknya, warung ini tidak sekedar menjual view di Jalur Selo Boyolali-Magelang nan indah. Terapit oleh Gunung Merapi dan Merbabu. Tersaji bukit-bukit dan berbagai tanaman ekonomis yang memanjakan mata.Â
Warung kopi di Desa Candi baru ini menawarkan kenikmatan seduhan kopi ala barista profesional. Tentu, tidak sekedar seduhan, melainkan cita rasa yang berkualitas dari penyeduh yang belajar secara otodidak.
                       *