"Kapan barang ini ada di Papua e," celoteh salah satu penumpang. Anak muda yang kemungkinan sedang berlibur ke Jakarta. Ia bersama empat orang lainnya, tiga pria satu wanita duduk dalam satu barisan kursi di KRL Commuter Line.
 Satu lagi pria seumuranku, bertindak sebagai guide. Tugasnya menunjukan dan memberitahukan nama setiap gedung yang dilewatu kereta dari Stasiun Manggarai ke Cikini.Â
"Iya ya, kita bisa pakai muat babi. Kalau peresmian, mungkin satu Papua bikin acara bakar batu," sahut teman di sampingnya. Aku mendengar sembari tersenyum.
Dua lainnya, hanya diam. Namun tidak dengan gerakan dan pandangannya. Menoleh ke luar, menikmati gedung dan kendaraan-kedaraan yang tersorot mata.
"Ah adik, barang ini tidak bisa pakai muat babi. Cuman bisa angkut orang," sang guide menjelaskan. Ia berdiri menghadap ke empat anak muda itu.Â
Suasana kereta memang tak seramai hari kerja. Bebas mendapatkan tempat duduk dan bebas pula bergerak. Duduk sebarisan dengan mereka tidak membuat kaku dan hanya menatap gawai. Tawa sesekali pecah walau dengan nada yang tidak terlalu besar.Â
"Ah kaka, kalau di Papua kan lain. Bisa saja to barang ini angkut babi," sahut salah satuya. Membuat mereka berlima tertawa. Aku yang duduk sebarisan dengan mereka juga ikut cekikan kecil.
Percakapan dalam pertemuan itu sangat singkat. Aku turun di Stasiun Cikini. Pertemuan dengan mereka ketika sama-sama naik dari Stasiun transit Manggarai.
Tetapi, percakapan di atas bagiku bukan humor, tetapi satir atas mimpi pembangunan. Saya menangkap itu sebagai sebuah harapan penyamarataan pembangunan.Â
"Barang ini merujuk pada kereta yang kami tumpangi," rupanya memiliki kekaguman tersendiri dari beberapa saudara dari Papua tersebut.