Kakek ku anak tunggal. Tak punya adik atau kakak. Keluarganya kaya. Orang terpandang lantaran punya banyak harta. Jika digambarkan mungkin seperti ulasan dalam buku Bumi Manusia. Priyai yang terpandang.
Orang tuanya lalu banyak menjadikan anak saudara, tetangga dan kenalan sebagai anak angkat. Agar kakekku punya saudara. Anak-anak atau saudaranya tersebut yang akhirnya menjadi keluarganya hingga anak cucu sampai kami saat ini. Pertalian itu menjadu kuat.
Kekurangan fisik kakekku tersebut sudah tentu menjadi bahan olokan warga desa atau kemanapun ia pergi. Namun ia tak kadung surut menjalani kehidupan.
Bahkan saat ia melamar nenekku, kekurangam fisiknya menjadi penolakan pertama. Akan tetapi kekuatan cinta tak mampu ditandingi. Nenek ku menerima pinangannya setelah sekian kali penolakan. Mereka kemudian membangun keluarga dengan 9 anak.
Aku merupakan cucu yang beruntung hidup dari tangannya. Di rawatnya aku, di sekolahkan dan dibesarkan. Dan selama itupulah, kemanapun ia melangkah, aku selalu menggenggam tangannya.
Ia tak pernah malu melangkahkan kaki ke kota, ke pasar-pasar atau di keramaian. Lirikan orang-orang, bisik membisik, seperti sudah biasa baginya. Namun bagiku itu sesuatu yang tabuh.
Aku memperhatikan itu dalam setiap perjalanan kami. Rasa tak percaya diri selalu menyerangku. Kemarahan adalah puncak batin yang sering ku alami. Namun kakek ku, tidak memusingkan itu semua.
Pernah aku bertanya kenapa ia begitu kuat mentalnya pada cibiran orang. Sementara aku yang oleh anak desa sering dibuli selalu menangis tak henti-hentinya. Namun jawabannya sungguh mempesona.
"Jikalau hidup tak memiliki keberanian maka bagaimana nanti kamu mempertanggung jawabkan nya pada Tuhan. Jangan takut siapapun atau menyalahkan keadaan apapun. Itu kesalahan dalam aturan sebagai manusia. Tal perlu membalas, cukup senyum dan doakan".
Sejak saat itu aku memahami. Ia tak peduli atas kekurangannya. Walaupun bagiku, bulyian selalu menjadi alamat yang mendobrak dada. Sebagai anak kecil tentu saja aku geram.Â
Di pandang sebelah mata, cibiran dan narasi sumbang melekat erat di hidupnya. Tak akan mampu aku hitung berapa banyak perkara itu mendarat di telinga. Jika mampu ku catat, mungkin sudah menjadi buku berjilid-jilid.Â