Pria itu duduk di loby Hotel Bidakara ketika saya dan teman menyambanginya. Ia seorang Dokter yang bekerja untuk pemerintah.Â
Bayanganku tentang dokter ialah penampilan necis, rambut yang tertata rapi, harum dan berwibawa. Namun saya salah. Pria yang saat ini saya panggil sebagai Abang justru berbeda.Â
Kucel, berkaos oblong, bercelana panjang hitam dan bersendal jepit. Rambutnya acak-acakan. Penampilan dan sematan gelarnya tak sesuai.
Bertemu kami lalu menuju ke depan hotel, minum kopi. Di sini, kami bercengkrama lebih akrab. Sejam kami ngopi ia mengajak kami bertemu seorang kepala daerah. Setelah selesai, kami naik ke kamar lalu mengambil tas pakaian dan pergi menuju kosan.Â
Hotel berbintang nyatanya tak membuatnya nyaman. Dan, memilih menginap bersama kami di kosan sempit berukuran 3x4 di bilangan Matraman. Kosannya Mahasiswa rantau dengan Budget 700 ribu perbulan.
Sebulan lebih ia bersama kami. Tanpa malu, geli atau gengsi. Apa yang kami makan, itulah yang dia makan. Di kasur jelek yang kami tiduri, di situ pulah ia tidur. Ia tidak membedakan statusnya sebagai dokter atau orang kaya punya banyak duit.
Setelah sebulan, Ia pergi. Ia mendapat jabatan di salah satu instansi kesehatan. Namun dua bulan kemudian ia balik lagi. Menyambangi kami dengan penampilan yang masih sama.Â
Sebuah pemadangan yang waktu itu belum kupahami.
Walau sudah punya posisi penting, ia masih tetap humble. Tidur di kosan setiap kali bertandang ke Jakarta. Makan dan ngopi di pinggir jalan, hingga mencuci pakaian sendiri.Â
Padahal jika dipikir-pikir, ia cukup punya banyak uang. Tapi ia tidak memilih itu, setiap kali punya uang ia berikan kepada mereka yang membutuhkan. Rekeningnya pun sering nol setiap kali di cek.