Di apartemen misalnya, Â kehidupan berjalan sangat ekslusif. Tetangga bukan berarti bisa saling menyapa. Urusanmu milikmu. Batas mu terkotak pada ukuran kamarmu. Lewat sedikit,securiti-securiti datang menegur.
Jumlah penghuni tidak menjamin hubungan akan terjalin. Sebab, esklusifitas sangat di junjung. Untuk masuk kamu membutuhkan akses, tak ada akses tak  bisa masuk. Bahkan meminta tolong untuk masuk adalah hal yang sering kali sulit.Â
Akses sebagai kunci hanya bisa menjajal lantai yang ditempati. Tidak bisa melebihi hingga ke lantai-lantai lainnya. Kehidupan di sini bagai penjara. Sebuah tempat yang dipandang megah orang di luar kota.Â
*
Kota itu hidup, tapi tak hidup. Waktu berputar dengan sangat cepat hingga detikpun tak mampu didengarkan. Â Abe Rosenthal, editor laman majangpolis New York Times menyebutnya " Kita sendirian". Itulah kenapa kota itu penjara.
Benar adanya kata Goenawan Muhammad yang ia goreskan pada catatan pinggir "Mungkin saya menyukai pagi, karena disana saya berlindung dari kecepatan detik,"
Ingin rasanya aku memanggilnya, duduk dengan secangkir kopi dan ku minta ia menceritakan tentang pagi dengan kabut dan sinar matahari, berjalan mengikuti bayang-bayang abadi yang Ia maksud. Â Sembari memungut ingatan, Cathedrale de Chartes " demikianlah kisah dari pasah, ketika seluruh alam diburu resa oleh goda, zina, cinta dan perkotaan".
Goenawan Muhammad memberikan aku suatu gambaran tentang Kota, di mana mekanisme waktu tidak berlaku. Detik, menit dan jam berlalu dengan cepat. Melawan takdir dari pekerjaanya. Â Bahwa kota adalah penjara bagi manusia. (sukur dofu-dofu)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H