"Bang, kuliah di sini beasiswa ya?" Ujar seorang kawan dalam sebuah obrolan 4 tahun silam. Saya baru mahasiswa semester satu di salah satu kampus di Kota Bogor.
"Iya, Beasiswa Patungan," jawabku diiringi cekikan.Â
Ia penasaran dan bertanya," Maksudnya beasiswa patungan bang?"Â
"Beasiswa patungan itu gini, semua keluarga dan kolega ngumpulin sedikit-sedikit utamanya buat semester yang mahal itu," jawabku.
"Supporting keluarga dong. Bang sudah kerja?" Sanggahnya.
"Tidak juga. Tidak selalu keluarga, bisa saja kenalan atau siapa yang bersedia membantu. Dan, saya belum kerja, pengangguran elit," jawabku lagi-lagi membuatnya geleng-geleng kepala.
Aku lihat raut wajahnya sedikit keheranan. Maklum, rata-rata yang melanjutkan studi ke strata berikutnya punya latar belakang pendanaan yang jelas.
Dari hitunganku 80 persen beasiswa. Tapi, tidak akan saya bahas perihal itu. Saya lebih tertarik membahas mengenai kenapa "kebanyakan" orang timur khususnya mahasiswa "nekat" merantau dan melanjutkan pendidikan tanpa supporting system yang memadai; biaya.
Melanjutkan pendidikan merupakan sebuah fenomena yang belakangan menyita perhatian. Apalagi melanjutkan pendidikan ke luar pulau utamanya ke Pulau Jawa.Â
Setiap lulusan perguruan tinggi yang berani mengambil keputusan melanjutkan pendidikan strata selanjutnya adalah transformasi tertinggi di kalangan sosial. Ia akan dipuja, dibahas agar kawan-kawan lain mengikuti jejaknya.