Pandanganku teralihkan pada dua bungkus kacang kenari; almondnya Indonesia, di salah satu rak toko kue. Tersusun rapi di deretan kue lain yang menggoda kantong, buah kenari ini dibungkus dengan sederhana. Tak ada logo atau embel-embel dan kelihatan mewah di toko ini.Â
Sungguh benar-benar desain toko ini mensugesti pelanggan merogok kocek. Produk apapun bisa jadi maskulin dan diminati.Â
Pencahayaannya bagus, karyawannya cantik-cantik, desain interiornya berkelas ketimbang tokoh kue lain di kota ini.Â
Kalau disandingkan dengan toko kue lain atau warung-warung PKL sungguh sangat jauh kelasnya.
Penasaran, saya pun mendekat. Ku lihat baik-baik karateristiknya nampak kecil-kecil isi buahnya. Lebih besar dua kali jempol saya.Â
Namun, saya terperangah dengan label harga yang tertera. Sembilan puluh ribu rupiah.
Harga segitu, tidak sampai sekilo hanya beberapa gram. Seketika saya berpikir hanya diberi packaging sederhana saja dari kantong transparan, harganya bisa selangit?
Bukan karena isi kantong yang bokek, tetapi komoditas satu ini sungguh sangat jauh dari sentuhan inovasi, terkucilkan, tak diperhatikan berbeda dengan cengkih, pala atau kelapa.Â
Walau belakangan tiga komunitas di atas juga mulai kalah pamor oleh pertambangan yang seksi di Halmahera sana.Â
Kenari hanya dihadirkan pada ruang tertentu, mengikuti arah kepentingan pemerintah dalam event-event setelah itu hilang.Â