"Ah kata anaknya, Ia melihat Ibunya di tutupi bantal alias di bunuh bukan bunuh diri yang menggemparkan masyarakat di kota kecil ini".
Mendung mendulang, namun tak nampak hujan akan datang menerjang sore hari ini. Di sebuah warung kopi, kami duduk menikmati kopi seduhan ibu warung. Rutinitas sebelum berangkat berenang.
Warung yang terletak di gang dan jauh dari hiruk pikuk layaknya cafe besar. Banyak orang atau musik kencang. Warung langganan kami ini sederhana. Layaknya warkop kaum urban.
Sembari menyeruput kopi, seorang ibu yang melewati gang  itu mampir di warung kopi. Lalu berjuar " Di gang sebelah ada yang bunuh diri. Sudah banyak polisi yang datang serta masyatakat yang berkumpul,". Kemudian, ia berlalu. Tanpa mengenalkan diri.Â
Kami tetap santai menyeruput kopi walau rasa penasaran tetap mengemuka. Seakan menghardik diri agar rasa penasaran terpuaskan. Mendorong agar ke lokasi kejadian, ikut nimbrung bersama warga mencari informasi. Atau sekedar menengok dari jauh sembari menerka-nerka.
Seakan menjadi sebuah budaya bahwa setiap kejadian perlu kevalidan lapangan. Wajib hukumnya mendatangi lokasi walau dihadapannya ada baku tembak sekalipun. Hanya untuk sekedar mencari versi tersendiri layaknya wartawan memburu berita.
Namun niatan itu kami urungkan. Kami tetap pada planing. Ngopi lalu berangkat berenang. Untuk mematikan rasa penasaran, saya membuka Hp dan menghubungi beberapa rekan wartawan yang kebetulan meliput kejadian itu.Â
Namun minim informasi dan hanya membenarkan bahwa kejadian itu nyata. Informasinya hanya sebatas laporan lapangan dan tetap menunggu rilis pihak berwajib yang melakukan penyelidikan.
Kopi sudah habis. Kami berangkat berenang. Namun kami putuskan melewati jalan di lokasi kejadian. Lokasi yang masih satu kelurahan dan hanya berjarak sekira 1 KM.
Warga berkelompok. Dua sampai lebih. Jalan masuk dipenuhi pria wanita, baik tua dan hingga muda. Mobil polisi bertuliskan forensik parkir tepat di depan. Tak ada jaga jarak atau protokol kesehatan. Semua tumpah ruah.