Adindaku, pagi tadi turun hujan.Â
Bangunlah, pagi ini terlalu romantis untuk kau habiskan dalam selimut mimpi. Seduh aku segelas kopi lalu duduklah dengan cantik di sampingku dan akan kuceritakan tentang sebuah rahasia.
Tolong jangan kaget apalagi berteriak. Akan janji akan kuceritakan pelan-pelan.Â
Tauhkah kau, pagi tadi ketika dedaunan masih terlelap dan angin yang termakan dimensi pada penghabisan malam aku mengendap diam-diam menangkap hujan?
Iya hujan. Tak ada yang tau, Â orang-orang masih terlelap.Â
Ia sempat memberontak, guyurannya membasahiku hingga mengamuk menerobos sela-sela rumah yang bolong. Basahlah seluruh lantai ini. Kami bertarung dengan sengit.
Saat berhasil ku tangkap, Ia mengeluh. Meminta dilepaskan. Katanya Ia suruhan Tuhan yang datang membawa membawa misi besar bernama keberkahan. Â Ia membawa misi pada manusia dan alam.Â
Seharusnya Ia rela aku tangkap. Lantaran kehadirannya bagi manusia selalu di cemooh, dicaci, dikeluhkan. Tak hujan dirindukan dan jikalau hijan disalahkan.
Seharusnya Ia sadar, kehadirannya dimanfaatkan manusia yang hamba kenangan. Rindu, cinta dan luka tak bisa lagi dibedakan. Membentuk penggalan-penggalan romansa dari hasrat manusia yang abai pada Tuhan.Â
Namun aku masih setuju pada misinya tentang alam. Ada bumi yang harus dibasuh dari ketamakan penduduknya. Air, sungai, tanaman, burung-burung yang terlampau kritis harus disuapi dan kembali bergembira. Aku setuju dan sangat setuju.
Pergulatan kami alot adinda. Keluh kesahnya bertentangan dengan keegoisanku. Beradulah kami. Ketamakanku menggila. Hampir saja kuseobek-sobek mentari yang diam-diam menguntit. Bahkan hampir ku remukan langit-langit tempat hujan turun.