Fahrudin duduk diam menyimak obrolan hangat dengan salah satu kompasianer yang lama tak bertemu. Ia serius menyaksikan kami berdua bercerita. Ia nampak malu dan hanya melempar senyum sesekali.
Wajahnya sedikit muram seakan menyimpan sebuah prahara. Ibarat dahaga yang harus secepatnya diberi air. Sayangnya malam itu saya suguhkan kopi hitam.
Walau sudah berkenalan diawal pertemuan tadi, ia masih enggan terlibat dalam obrolan dan setia menjadi pendengar. Sebelum akhirnya kawan saya menyampaikan bahwa kedatangannya membawa serta Fahrudin agar saya bisa sedikit memberikan nasihat dan masukan.
Fahrudin hendak melanjutkan pendidikan strata dua di Jakarta. Namun Ia butuh dorongan yang lebih kuat, agar keraguan di dalam dirinya tak surut. Jadilah topik obrolan berganti.Â

"Iya bang. Tapi saya masih ragu," Ujarnya
"Apa yang membuat kamu ragu,"? timpalku
"Ragu segala hal bang. Kondisi keuangan, bisa bertahan atau tidak, gimana cara kita makan dan hal-hal semisal itu. Saya orang miskin bang" jawabnya lugas.
"Pesan pertama saya, tidak ada ceritanya orang yang sekolah mati kelaparan. Mencari Ilmu adalah jalan yang di Ridhoi Allah SWT. Pergilah, jangan ragu," tegasku.
Ia diam, seakaan memikirkan sesuatu. Antara yakin atau tidak yakin. Saya melihat sorot matanya dalam-dalam dan menemukan makna bahwa Ia sedang berusaha membangun kepercayaan diri atas keputusan yang diambilnya. Menghitung untung rugi dari segala tindakannya.Â
Untuk mencairkan suasana, sayapun berbagi sedikit cerita di mana saya pernah berada pada posisi yang hadapnya. Bahkan lebih dari itu, tentang nikmat dari susah dan keluh kesah serta kesan sebagai anak perantau.