Senja sebentar lagi pulang, membawa serta jingga yang memesona. Namun, kamu belumlah pulang. Masih beradu dengan senar pancing di atas laut yang tenang. Duduk bersama sampan yang kau buat di hutan. Merayu ikan untuk lauk di atas meja makan.
Aku menunggumu di bibir pantai. Pantai yang sama tempat kamu menarik perahu siang tadi. Memainkan pasir sembari tertawa melihat kepiting-kepiting berkelahi hingga capitnya tercerai berai.Â
Sesekali, kutengadahkan pandanganku ke laut. Berharap, kau mengayuh pulang bersama angin melewati celah karang yang biasa kau lalui.Â
Hingga detik berlalu, menit yang minggat dan jam datang menyapa membawa ombak yang merayu Istana pasirku, aku masih setia menunggu. Hingga terlihat layar-layar perahu  dipandu angin diujung mata.Â
Kau pulang, membawa serta senyum mengembang pada wajah yang memerah karena gempuran mentari. Layaknya rindu yang datang setelah ribuan tahun terpisah.
Perahu menyentuh bibir pantai, layar kau gulung dan perahu kita tambatkan. Kita pulang, menuju rumah membawa ikan hasil pancingan.
Di rumah, mama sedang menyiapkan makan. Mengulek papeda, menanak nasi dan meracik sambal.
Cerobong asap milik mama sedari tadi masih terjaga, bara api masih menyala dengan gagah. Menanti ikan mendarat, terpanggang layak hingga nanti kita makan dengan lahap.Â
Ah papa, kau pria laut yang hebat. menantang gelombang, memandu angin dan mengayuh perahu untuk kehidupan di darat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H