Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Jarak yang Meminjam Umur

14 Februari 2021   14:35 Diperbarui: 14 Februari 2021   14:51 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tau kau tak mempercayai janjiku . Tentang pulang dan menikmati senja bersama. Berbagi kisah hingga lupa cara tersiksa. 

Jarak bagiku hanyalah kumpulan komitmen yang terlampau hadir meminjam umur.  Sejak Empat tahun lalu, terakhir kali kita mengucap salam perpisahan di pintu masuk bandara. Aku tau, kita akan menikmati senja dengan cara sendiri.  Tak ada pundak tempat bersandar. Tak ada singgah atau romansa "sayang" diujung pertemuan.

Aku ingat, ada air mata yang hampir menetes dari kelopak mata indahmu. Hampir jatuh membasahi kulit pipimu.

Hanya senyum yang dipaksakan agar terlihat tegar sembari melambaikan tangan tanda perpisahan. Sementara itu, aku pungut ingatan tentang janji yang terpatri. Tentang berjuang dan memperjuangkan. 

Aku pergi tanpa sedikitpun membawa cemas akan hadirmu. Seiring bunyi raungan mesin pesawat terbang melaju dan take off, membela awan dan langit ciptaan Tuhan, aku berlalu tanpa pikir akan ada rindu yang tercipta.

Ketika kembali turun ke bumi, aku sadar telah ada ribuan gunung dan luasnya samudera yang menciptakan jarak. Di sana ada senja yang sering kita nikmati, sementara disini hanya hujan dan kepentingan yang elegi. Di sana ada cinta sementara disini aku memupuk rindu. 

Empat tahun sudah bergulir. Namun kau tak sedikitpun bisu. Hadir setiap detik tanpa sandiwara. Tanpa sesal akan jarak yang memakan rindu yang termakan waktu. Jarak hanyalah kata seperti ucapmu kala itu. "Kita masih dibawa langit yang sama. simpanlah potongan kenangan kita,agar kau tak lupa siapa yang kau rindui di ujung pertemuan nanti,".

Sudah ada ribuan kisah tentang marah, cemburu hingga rasa yang hampir kau bunuh. Akupun demikian. Hampir melupakan arti dari rasa yang titip. Atau pada tawamu yang manis.

Namun semesta tak pernah diam menyiratkan, mengingatkan. Jarak sebagai biang nestapa selalu kalah bersama doa-doa yang kau hujam ke langit. Doa-doa mu kala pagi menyambut dan senja menciptakan warna dan harap. Ada semoga yang terus mengalir tanpa henti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun