Deburan ombak yang megusik pasir siang  menjadi saksi bisu literasi yang tinggal mimpi. Dinding-dinding retak oleh hantaman palu, paku-paku tercabut dari balok kayu, dan atap berbahan daun sagu beterbangan tak menentu arah. Rumah Baca, bangunan mungil dan lucu itu di bongkar oleh mereka yang memiliki ideologi berbeda.
Di balik dinding sebuah rumah, dari sebuah lubang dinding, kameranya merekam. Samsul, salah satu relawan bersembunyi dan hanya menyaksikan lewat mata dan lensa kameranya. Sembari menahan hati yang panas. Ia tak mau emosi meliputi hingga lahir anarkisme.
Ia tak berani mendekat, pun demikian dengan warga desa yang hanya memandang dari jauh sembari mencuri pandang. Mereka tak mau terlibat atau melibatkan diri pada pemandangan yang mereka saksikan.
Ia masih berpikir rasional, sebagai orang yang mengeyam pendidikan ke Jawa, ia tak ingin menimbulkan konflik. Apalagi, konflik yang tercipta di desa bisa menyingung banyak luka yang terpendam. Bisa melibatkan keluarga-keluarga besar.
" Saat pembongkaran rumah baca saya ada di Desa. Namun tidak menampakan wajah. Jika saya menampakan wajah, maka saja mengantar nyawa,". Ujarnya
Arman memilih diam di rumah sambil menimbang alternatif penyelesaian masalah ke ranah hukum. Ia membawa perkara ini ke polisi agar semua permasalahan mendapat titik terang.
***
Motivasi itu di latarbelakangi oleh rendahnya literasi hulu di wilayah pesisir dan pedalaman di Maluku Utara. Di mana permasalahan seperti akses terhadap buku, akses informasi dan kualitas mendapatkan pendidikan sangat begitu rendah. Bahkan membaca buku pada tingkat desa yang memiliki berbagai problem.
Berdasarkan data Stastika Pendidikan dan budaya Maluku Utara tahun 2018, beban Guru dan peserta didik disimpulkan bahwa sudah memenuhi ketentuan rasio Murid-guru. Akan tetapi, beberapa kendala seperti spesifikasi skil dan keahlian masih belum cukup beragam. Bahkan, di beberapa kasus terdapat sekolah yang tidak memiliki guru tertentu sehingga siswa harus belajar secara otodidak.