"Jika bisa memilih, aku tak ingin menjalani hidup di antara kasih yang terpisah dengan sayang. Kedua-duanya begitu buram, asing". (Dayat)
Dayat menatap langit Jakarta yang dihinggapi polusi. Ia sedang sedang dirundung prahara, setelah ibu kost menyampaikan masalah. Ia belum bayar kosan selama 2 bulan. Di tempat ini, di atas balkon kosan ia sering menghabiskan waktu. Memikirkan semua yang bersarang di kepala.Â
Gang sempit di Jalan Supriadi Matraman seakan menjadi sejarah perjalanannya dua tahun belakangan.Â
"Seandainya aku punya orangtua, mungkin mereka bisa membantu perkara yang saya hadapi," desahnya bersama desir lara. Aku hanya mampu mendengarkan keluh kesah yang melanda.
Dayat adalah korban dari prahara cinta kedua orangtuanya. Ia lahir tahun 1990 silam di sebuah kepulauan terpencil di timur sana.
Setelah lahir, katanya, sang ayah hanya sekali datang menengok setelah itu pergi tanpa kabar. Masih menjadi misteri baginya. Sementara ibunya, kembali ke Sidangoli melanjutkan pekerjaan di salah satu perusahaan kayu bernama Barito, Milik keluarga Tutut Soeharto.
Sejak itu, ia buta bahkan ketika ia sudah mulai memahami segala sesuatu tentang kehidupan. Pada warna rambut kedua orangtua, sosok, bau, bahkan bayangan. yang ia ketahui, hanya dua sosok renta, keriput dan berambut uban sebagai orangtua. Mereka adalah kakek dan nenek dari garis keturunan ibunya.
"Bagi saya, kedua orang itu sangat berharga. Mereka adalah orangtua yang sesungguhnya," ujarnya.
Hidup tanpa sentuhan orangtua membuat ia menjadi pribadi yang minder, cenggeng namun keras kepala. Bahkan masa kecil selalu di penuhi tangisan karena pembulian baik pada dirinya maupun pada fisik kakeknya.
"Kakek saya punya keterbatasan fisik, kakinya tidak seperti biasa. Sehingga sejak remaja kakek saya sudah tak memakai sendal. sehingga jika ada anak-anak lain menyerang beliau, di situ saya merasa sangat tersudut."
Dayat juga tak pandai berkreativitas. Nalarnya tak pernah jalan dan cenderung kaku bereksperimen.