Bagi saya sendiri, kondisi ini akan melahirkan cluster baru setelah cluster perkantoran dan beberapa cluster yang sudah terjadi. Tahapan Pilkada yang sudah diatur oleh KPU di era Pandemik Covid-19 agar melakukan kampanye secara daring dengan batasan-batasan yang ketat seperti perlu ditinjau ulang. Peninjauan ini karena aturan yang ada tidak diindahkan oleh kandidat maupun simpatisan itu sendiri.
Lantas tahapan apa saja yang bisa menimbulkan cluster baru Covid-19?
Tahapan pendaftaran
Selain penjemputan yang sudah digambarkan di atas, tahapan yang paling riskan dan menimbulkan kerumunan ialah tahapan pendaftaran kandidat balon. Kok bisa? bukannya yang daftar kandidat dan partai pemberi rekomendasi saja?
Masih pada budaya politik dimana kandidat yang akan mendaftar ke KPU akan diantar beramai-ramai oleh simpatisan dan tim suksesnya. Saya sendiri hingga kini masih heran kenapa tahapan seperti pendaftaran ini selalu mengundang massa. Bahkan pada waktu tertentu saya sering bergurau bahwa tahapan pendaftaran sebagai tahapan reuni.
Kandidat yang akan mendaftar akan diantar dari rumah hingga ke KPU. Pengalaman saya, kondisi ini lebih nyata dan mengundang banyak simpatisan ketimbang penyemputan kandidat. Artinya kondisi dimana kerumunan lebih banyak selain kampanye terbuka.
Tahapan kampanye
Secara tahapan, Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia ( KPU RI) sudah menegaskan agar kampanye secara terbuka ditiadakan. Bahkan dalam aturan dan tata cara kampanye KPU, kampanye dilakukan dalam ruangan juga hanya menghadirkan 40 % massa dengan penerapan protokol kesehatan. Tetapi apakah efektif dan dapat dikontrol?
Bagi saya tidak bisa dikontrol terutama daerah-daerah di luar pulau Jawa. Walaupun kampanye secara terbuka ditiadakan akan tetapi kampanye di setiap desa di pelosok-pelosok negeri justru akan meningkat.
Peran Bawaslu lewat unit Panwascam sangat penting di gerakan. Kampanye yang dilakukan di desa  merupakam kewenangan Panwascam. Sebab, kampanye di setiap deda dengan minimnya pengetahuan tentang penerapan protokil kesehatan sangat mungkin terjadi.
Selama ini, berdasarkan pengalaman, Â kampanye di desa lebih menyedot massa dibanding kampanye terbuka di lapangan. Jika dipusatkan di satu desa maka masyarakat desa lain akan berbondong-bondong datang ke desa tersebut. Selain itu, peran Panwascam selama ini masih lemah apalagi melakukan sosialisasi semisal penerapan protokol kesehatan.Â