Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Desember 2020 mendatang akan menjadi ajang pengujian Demokrasi secara terbuka.
Kenapa saya mengatakan pengujian? karena sejauh ini saya masih menggangap sistem pemilihan yang di lakukan masih sebatas uji coba mencari formula terbaik mekanisme dan tahapan pemilihan.
Tentu saja, Pilkada sebagai bagian dari perjalanan politik merupakan sebuah kondisi yang menyita perhatian publik. Sesuatu yang tak pernah di pisahkan dengan kultur Indonesia. Tak ada hal yang paling menarik selain dunia politik, semua orang terpaku pada yang satu ini hingga lupa berbagai persoalan-persoalan lain.
Dalam momentum Pilkada, banyak aspek terbentuk. Salah satunya lahir para simpatisan sebagai bagian dari basis (kekuatan) meraup suara.Â
Ada beberapa kategori simpatisan, yakni simpatisan fanatik, simpatisan biasa; tidak fanatik tapi tetap memilih kandidat tersebut, simpatisan bayaran ; ada duit abang kepilih, istilah yang sering di pakai dan simpatisan pura-pura, pilih kandidat lain tapi ikut kampanye kandidat lain dan dapat uang rokok.
Saya sendiri pernah menjadi simpatisan politik kategori pertama,Yap simpatisan garis keras alias simpatisan fanatik.Â
Simpatisan garis keras bagi saya sendiri ialah pasukan khusus yang wajib memenangkan kandidat pilihan, membela saat dilecehkan bahkan tawuran saat massa kandidat lain numpang lewat di basis masa kandidat yang kami bela.
Gimana, mirip nasionalis, kan?
Bagi kami, simpatisan fanatik. Menang adalah harga mati dan harga diri-- Dan, memang banyak yang mati pada perjalanannya- Harga diri ketika kandidat kami di buly, bahkan setingkat hasil survei yang menyudutkan kandidat saja, auto perang.
Simpatisan fanatik memiliki 3 peran utama, yakni garda terdepan setiap kampanye dan tawuran dengan massa kandidat lain.
Kedua, tampil terdepan dalam perang gagasan (lebih tepatnya bacot-bacotan), dan ketiga memengaruhi massa mengambang alias masyarakat yang punya hak pilih dan masa bodoh dengan politik untuk memilih kandidat yang kami usung.