Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Cerita Negeriku

17 Januari 2020   11:19 Diperbarui: 17 Januari 2020   11:26 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di ujung sana terdapat sebuah negeri, yang dari sejarahnya sudah bergulat dengan peperangan, bergulat dengan kekuatan-kekuatan armada, bergulat dengan hasil alamnya dan bergulat dengan pedang-pedangnya dan bergulat dengan kepala-kepalanya. Di negeri itu, sudah terlampau lama darah-darah d sajikan.

Setiap ada yang ingin bercocok tanam, datanglah para pemihak logam merayu dengan kasar hingga petani menjadi buruh dilahan sendiri. Datanglah para pemburu dolar hingga hingga tanah bertaburan minyak.

Setiap ada nelayan yang ingin memancing, datang pulah kapal-kapal perusak dengan jala regulasi dan kail nahkoda yang berteriak lantang. 

Setiap ada anak kecil yang ingin mengenakan seragam dan bermimpi keluar dari kegelapannya, datang pulah pemilik-pemilik gedung yang menanam ideologi bengis. Sekolah tidak gratis, bahkan untuk yang tidak memiliki sepatu sekalipun.

Bahkan secangkir kopi akan diproteksi di negeri ini, layaknya kisah cinta yang tak dapat ditafsirkam perasaan dan sayang, negeri inipun demikian gusarnya.

Berkali-kali rakyatnya berteriak lantang dan kesakitan membawa ide, namun diseberangnya pencuri ide tertawa lantang. Menimati senja di gedung-gedung mewah, cerutu dan anggur tersaji manis, sedang tangan-tangan mereka yang kanan lincah menggores kertas kepentingan dan kiri menutup rapat kuping-kupingnya.

Ribuan perut perut diikat oleh tali keputusasaan akibat buah-buahan yang tak lagi mekar sedang diatas sana orang-orang asik mengoleksi madu-madu mahal, mobil-mobil sport dan jas-jas mewah.

Ah negeri itu. Bahkan ketika mereka mendekati pagar kekuasaan dengam senyum dan raut wajah keadilan, moncong-moncong senjata tak segan-segan melubangimu satu persatu.

Dan lalu..

Ku ingat pesan itu "nak negeri ini bekas jajahan, yang tak punya power untuk berdiri, bahkan untuk mengurus akhlak dan moral saja mereka tak mampu".

Liat saja sendiri nak, akibat perut-perut mereka yang terus lapar, akibat pajak-pajak rumah mereka yang besar, akibat anak-anak mereka yang hobi foya-foya, akibag istri-istei mereka yang hobi jalan-jalan dan akibat kelompok-kelompok mereka yang gemar main golf, negeri itu digadai, negeri itu dikerus kekayaan alamnya,, dan mereka pemberi kuasa adalah pembantu dari " mereka" yang konon matanya pemilik moral. ah apes

Bogor, katanya Kota hujan, namun kita hutan-hutan ditebang, sawah-sawah hilang, ular-ular ganas, 17 januari 2020.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun