Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Generasi "Millennial", Kunci Daya Saing

6 Januari 2018   07:44 Diperbarui: 6 Januari 2018   11:31 1970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Benarkah generasi millenial bisa menjadi aktor daya saing?

pada era globalisasi dengan pakem pasar bebas, mengaruskan negara melakukan kegiatan ekonomi secara terbuka dengan berbagai peraturan yang di tuangkan dalam bentuk perjanjian-perjanjian bilateral antara dua atau lebih negara. Maka, praktis persaingan perebutan pasar dan konsumen merupakan salah satu ciri dari sebagian pasar bebas. Negara-negara yang melibatkan diri dalam pasar bebas juga harus mampu bersaing dengan negara lain agar kesejateraan masyarakatnya dapat tercapai. Oleh karena itu, negara diharuskan memiliki daya saing pada segala lini, utamanya pada taraf internal negara tersebut.

banyak faktor yang menjadi dasar sebuah negara memiliki daya saing, baik birokrasi, politik, gender, pendidikan sampai pada tingkat efisiensi dalam produksi. Secara garus besar, faktor lainnya adalah keunggulan komparatif dan kompetitif, dan secara terperinci adalah faktor sumberdaya alam hingga sumber daya manusia. Nah, yang terakhir ini adalah salah satu yang paling di soroti. Sebab, sumber daya manusia merupakan faktor vital dalam menentukan daya saing sebuah negara. Bagaimana tidak, sebab SDM yang berkualitas dapat menciptakan dan menggunakan sumber-sumber produksi secara baik dan efesien.

SDM adalah kunci daya saing sebuah bangsa, bahkan negara yang mampu memanfatkan sumber daya manusianya secara baik akan mampu "bertarung" dalam pencaturan global. Mungkin jepang adalah contoh nyata, dimana SDM nya mampu menciptakan negaranya mampu berbicara secara global. 

Dengan memanfaatkan bonus demografi jepang sukses menjadi negara adidaya dalam perekonomian global. Hal ini bukan terjadi begitu saja. Budaya jepang tentang disiplin dan bekerja keras telah dikuatkan sedari awal,jauh sebelum masuk pada kondisi bonus demokrafi. Bahkan sampai sekarang, anak-anak tingkat dasar sudah diajarkan tentang kedisiplinan dan tanggung jawab.  Inilah yang membuat jepang mnjadi salah satu negara asia yang mampu bersaing dengan amerika dan cina kala itu soal pendapatan negara dan produksi dalam negeri yang tinggi.

Cerminan Jepang yang berhasil memanfaatkan kondisi bonus demografi juga akan terjadi pada Indonesia pada tahun 2025-2030. Generasi yang santer terdengar sebagai generasi millenial ini akan menjadi tongkat terdepan, berhasil atau tidaknya negara bersaing dan menjadi terdepan. Jika berhasil, maka Indonesia akan benar-benar lepas landas seperti teori Rostow, dan bahkan benar-benar menjadi macan asia seperti ramalan Josh Soros namun jika gagal maka, akan ada banyak pengganguran serta ketimpangan pendapatan. Negara akan mundur jauh kebelakang.

Generasi Millenial bisa saja menjadi "Bom Waktu" bagi Indonesia. Sebab, kelebihan ekpekstasi akan berhasilnya bonus demografi harus di pikirkan matang-matang. Sehingga, mampu menemukan strategi yang tepat. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab, kita masih kalah jauh tentabg kedisiplinan dan tanggung jawab seperti jepang.  Kedisiplinan kita tercermin dari kehidupan bermasyarakat yang selalu abai pada waktu, dan peraturan-peraturan yang telah di tetapkan, bahkan hukum selalu di langgar. 

Tanggung jawab juga berbanding lurus dengan tingkat disiplin yang rendah, kita akan sangat gampang menemukan mahasiswa tidak melaksanakan tugas, anggota DPR yang jarang ngantor, korupsi merjalela sampai pada hal-hal keagamaan. Yang berikut adalah, tingkat Inovasi dan kreativitas yang rendah. Bahkan kecenderungan kita masih pada taraf menjadi orang malas berjamaah. kondisi ini bisa kita temhi bahwa sampai sejauh ini, jumlah orang yang antusia dengan PNS jauh lebih besar ketimbang menjadi wirausaha.

Padahal, dengan sumber daya alam melimpah bahkan daun bisa bernilai ekonomis tidak mampu mendoring tingkat berwirausaha seseorang. sehingga target pencapaian negara agar anak muda, utamanya agar mampu berwirausaha mencapai 1 persen  sangat berat di capai. Padahal, jumlah penduduk kita sebanyak 25 juta dan terus berkembang, tetapi untuk 1% negara benar-benar kesulitan.

Kondisi seperti ini menurut hemat penulis akibat sistem pendidikan yang diarahkan pada kemampuan menjadi "pekerja" ketimbang menjadi wirausaha, atau pencipta lapangan pekerjaan. Di berbagai perguruan tinggi,kebanyakan proses penguatan skil mahasiswa hanya berdasar pada taraf analisis ketimbang membangkitkan kreativitas mahasiswa dalam menciptakan karya. Hal ini bisa terlihat pada perlombaan mencapai IPK tinggi, sehingga mengkonstruk pemikiran para lulusan terbaik dengan kata "siap pakai". Artinya bahwa, ekspektasi mendapat IPK tinggi dapat menjamin masa depan dengan diterima dimana saja, sebagai seorang pekerja tanpa perlu bersusah payah.

Kondisi ini juga diperparah oleh pemikiran para orang tua karena produk pemikiran "kolonial" yang mengharuskan anak-anaknya "berseragam dinas" karena hidup yang terjamin dan doktrin masa depan yang suram jika memilih opsi lain. Sehingga, keinginan anak menjadi terkubur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun