Sehebat apapun seseorang, jika tidak belajar melatih hati maka hanya akan tertatih.
Obrolan panjang malam itu menambah deretan kebisingan di area nongkrong kami. Selain dari lalu-lalang kendaraan bermotor, juga karena tempat nongkrong berada tepat di pinggir jalan. salah satu tempat yang melegenda bagi mahasiswa IPB.Â
Setelah memilih tempat, kami memesan kopi yang seragam. Malam itu pilihannya kopi asli Bogor (Kopi Liong) sebagai persembahan terakhir sekaligus hari berkabung karena harus gulung tikar semenjak berproduksi Tahun 1945.Â
Obrolan kami dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan ilmiah tentang tesis-tesis yang akan kami teliti, sebelum akhirnya pembicaraan menjurus kepada perbedaan visi dari kami berlima.
Seorang teman bertanya sekaligus agak sedikit menghakmi "bang cepat-cepatlah tesis biar cepat kerja dan nikah". Well perdebatan dimulai. Maklum yang bertanya ini adalah teman yang masih sangat muda sedangkan kami berempat, jangan ditanya.
Perdebatan dibuka dengan pernyataan salah satu teman yang berkata, kamu tidak bisa memaksakan kehendak atau visimu kepada kami, karena masing-masing dari kami mempunyai visi yang berbeda. Baik dari menyelesaikan tesis, bekerja dan menikah.
Sambungya, kita bisa progres dalam menyusun tesis, tetapi apakah kamu benar-benar menikmati hasil dan belajar dari tesis yang kamu kerjakan? Begitu pulah dengan bekerja dan menikah. Apakah kita benar-benar menikmati dunia pekerjaan kita?
"Dalam persoalan jodoh, kita mempunyai pandangan hati yang berbeda, kamu mungkin masih sangat muda. Masih menghitung-hitung pengalaman dari diri untuk mengenal cinta bahkan pengalaman-pengalaman lainya sebelum memutuskan bersatu dengan seseorang yang benar-benar kamu cintai," sambungku.
Sedangkan seorang kawan lagi mengatakan, semua keputusan bergantung pada sikap seseorang dalam membuat keputusan. Setiap orang mengambil jalan keputusan pada dirinya untuk melangkah karena mendalami pengetahuan dan pengalaman. Menikmati proses adalah yang utama ketimbang buru-buru melakukan sesuatu yang tidak ada ilmu dan pengetahuan di dalamnya.
Diskusi kami malam itu menjurus pada membagi pengalaman, bagaimana visi kami masing-masing. Obrolan yang awalnya soal jodoh-jodoh ini pun agak mulai tearah. Maklmum awal obrolan kami hanya seputar jodoh, pacar, mantan karena kawan muda satu ini suka membahas hal tersebut.
Dari obrolan panjang malam itu, saya mendapat kesimpulan bahwa setiap orang memiliki visi yang berbeda, tetapi tidak semerta-merta kita saling menghakimi. Kenapa?
Setiap manusia yang sejak lahir, belajar merangkak, berdiri dan akhirnya berjalan menempa dirinya lewat pengalaman dan visi yang berbeda. Antara manusia satu dengan yang lain terdapat perbedaan dalam memandang sesuatu. Misalnya, perbedaan dalam memandang keindahan. Kita bisa saja menyebut Bali itu indah, tetapi orang lain bisa berkata Lombok atau Raja Ampat itu indah.
Perbedaan itu indah, begitu juga dengan visi dari seseorang. Pengalaman yang menerpanya akan menentukan sikap pada jalan yang dia pilih. Visi seseorang dibentuk dari berbagai pengalaman. Contohnya, visi seseorang dalam meningkatkan ekonomi hidupnya karena kemiskinan yang menggrogoti. Beda halnya dengan visi seseorang dengan kekuatan ekonomi yang memadai.
Perbedaan visi antara orang yang berorganisasi dengan tidak berorganisasi pun beda. Di dalam organisasi berkumpul orang-orang yang memiliki pandangan dan visi yang sangat berbeda. Mereka diajarkan untuk saling menghormati dan menjalankan visi yang sudah disepakati. Terkadang pergolakan dan konflik sering terjadi akibat visi yang berbeda dengan anggota lainnya sehingga menimbulkan "dinamika"yang pada akhirnya orang-orang dalam organisasi dewasa dalam menyikapi perbedaan tersebut. Begitu juga dengan orang yang tidak ber organisasi. Visi dan cara menyikapi masalah juga akan berbeda.
Ini tidak hanya terjadi dalam individu, di dalam pemerintahan pun demikian. Antara kepala pemerintahan yang satu terjadi perbedaan sehingga jangan heran jika program kepala pemerintahan sebelumnya yang dianggap baik dan tepat sasaran tidak dilanjutkan pada pemerintahan baru.
Menurut salah seorang dosen yang pernah menjabat Wakil Menteri, dalam menentukan visi membangun program seringkali terjadi perdebatan sengit dan cenderung tidak mencapai kesepakatan akibat dari terlalu banyaknya penghakiman karena dinilai tidak realibel. Apalagi visi presiden yang tidak sejalan.
Setiap individu, kelompok maupun negara sekalipun memiliki perbedaan visi. Tetapi menghakimi tidaklah rasional. Kita bisa mengkritik, memberikan pandangan tetapi tidak dengan memberikan penghakiman untuk menggangu sikap orang tersebut.
Dengan memberikan penghakiman, kita hanya akan menambah pukulan psikologis yang berujung pada tidak harmonisnya keadaan yang di hadapi tersebut.Â
Pada akhirnya kita harus sama-sama dewasa. Menilai dan memberikan pendapat, kesemuanya adalah bentuk dari cara menasehati. Tetapi menghakimi bukanlah nasehat yg baik untuk pengalaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H