Mohon tunggu...
Fauji Yamin
Fauji Yamin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tak Hobi Nulis Berat-Berat

Institut Tinta Manuru (faujiyamin16@gmail.com)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mimpi Tergerus Zaman

7 Oktober 2017   15:25 Diperbarui: 7 Oktober 2017   16:59 1377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang gadis kecil yang bermain d Pantai | Dok. Pribadi

Siang itu, di sebuah pantai. Tepatnya di Desa Tafasoho, Maluku Utara Berlarian anak - anak kecil saling kejar - kejaran.

Sedang d ujung sana, beberapa anak lelaki sedang bergulat dengan si kulit bundar, tanpa alas kaki dengan tiang gawang seadanya

Dan dari kejauhan, nampak yang lain sedang berburu ikan, gurita dan aneka biota laut lainnya untuk di santap.

Tak lupa, para orang tua sesekali memeriksa. Memastikan anak-anak nya baik -baik saja.

Sambil berteduh di bawa pohon kelapa, saya sedikit bernostalgia tentang masa lalu,  di pantai yang sama, di pasir yang sama dan di terumbuh karang yang sama kami menghabiskan waktu kecil.

Anak-anak sedang memainkan permainan kapal yang di buat sendiri | Dok. Pribadi
Anak-anak sedang memainkan permainan kapal yang di buat sendiri | Dok. Pribadi
Waktu ketika internet bukan mainan kami, waktu dimana debu-debu abu vulkanik masih terasa menyengat, waktu ketika lentera menjadi penerang di kala gelap menghantui dan kami benar - benar ingin membangun mimpi. Bersekolah setinggi - tinggi nya.

*****

Waktu itu.

Di sebuah gubuk tua, bekas rumah ledakan gunung merapi. seorang guru renta, berumur 60 tahun, Engku Bisnu namanya . Mulai menggores pelan pada papan hitam. Abu kapur beterbangan seiring goresan abjad demi abjad.ya, hari itu pelajaran bahasa Indonesia . Hari pertama belajar,  bermodal sebuah buku dan pulpen tanpa alas kaki apalagi seragam merah putih. Tetapi,dengan semangat juang, jari - jari kaku mulai mengikuti. Walapun, lebih mirip " cakaran ayam".

Selang 1 jam, pelajaran selesai. Jam sekolah juga ikut selesai. Kelas harus di pakai oleh anak kelas 6.  Rumah ini hanya menyediakan 3 kamar sebagai kelas dan 1 ruang tamu sebagai ruang Engku Bisnu. Ya, seorang diri mengajar semua mata pelajaran dengan 6 kelas. 1 jam untuk 3 kelas dan 1 jam lagi untuk 3 kelas. Sekolah ini pun bukan layaknya sekolah hanya sebuah rumah biasa beratap Katu, (daun sagu) berdinding bolong.

Selang setahun, sekolah di bubarkan dengan alasan yang tidak kami pahami saat itu. Maka urusan sekolah selesai masanya. Satu-satunya harapan kami dalam menimbah ilmu agama, mengaji.

Pada tahun 1994 selang 3 tahun setelah sekolah di tutup. Kabar baik menghampiri para orang tua. Sekolah kembali di buka. Antusiasme? Tentu saja, selain karena keseharian kami hanya menjadi anak hutan dan pantai. Sekolah akan menjadi aktivitas baru. Gairah para orang tua semakin meningkat, baju - baju kami di siapkan. Walaupun harus menempuh perjalanan laut 5 jam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun