Keputusan telah bulat dan dipublikasikan. Â Ahok menyatakan akan maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 dengan mengunakan kendaraan Partai Politik. Konon keputusan tersebut sudah dibicarakan matang-matang dengan para pendukung Ahok yang berlabel "Teman Ahok". Â Sudah tiga partai politik (parpol) yang menyatakan mendukung Ahok untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 yaitu Partai Nasdem. Partai Hanura dan terakhir Partai Golkar. Â Bukan tidak mungkin akan ada parpol lain yang mengikuti jejak ketiga parpol tersebut. Â
Dan seketika media serta para 'pengamat' pun menjadi riuh akan keputusan Ahok tersebut. Â Sebagian ada yang mendukung keputusan Ahok untuk bertarung di jalur Partai, sebagian ada yang menyatakan kecewa karena Ahok tidak jadi maju secara independen, sebagian lagi ada yang meledek Ahok yang dianggap tidak konsisten atas 'gembar-gembor'nya terdahulu yang akan maju maju tanpa dukungan Parpol.
Saya sebagai pemirsa dari kalangan umum melihat bahwa ketiga pendapat tersebut sangat sah dan sangat normal. Â Menurut saya tidak satupun dari pendapat tersebut dapat disalahkan ataupun hanya satu pendapat yang dibenarkan. Â Sekiranya saya diijinkan jadi 'pengamat' maka saya akan beropini begini :
SATU : Ahok maju pilkada dengan kendaraan parpol bukan sebagai peminta calon gubernur yang akan maju dalam pertarungan tersebut, namun para parpol (Nasdem, Hanura dan Golkar) yang mendukung (bisa diartikan : memberi) terlebih dahulu.  Artinya dalam hal ini parpol tersebut yang aktif mendekati Ahok untuk memberikan dukungan suara dalam pilkada nanti.  Ahok tidak datang ke setiap DPP Partai Nasdem, Hanura ataupun Golkar untuk meminta dukungan dalam pilkada nanti, artinya Ahok memiliki nilai lebih dimata parpol sehingga parpol yang bersikap aktif mendekati Ahok. Â
Nilai Ahok yang didekati partai dianggap memiliki potensi yang lebih daripada calon lain yang datang ke DPP untuk mendaftarkan diri karena diasumsikan sama dengan meminta. Â Dalam hal ini Ahok - menurut saya - lebih unggul daripada calon gubernur lain yang datang ke DPP atau malu-malu datang namun sibuk memberikan statement politik yang menyudutkan pihak lain sambil membanggakan diri sendiri. Bisa dikatakan bahwa Ahok lebih memiliki mutu lebih sehingga ketiga perpol tersebut yang berinisiatif mendekat lebih dahulu walaupun mungkin dengan resiko menanggung 'malu' karena dianggap tidak memiliki kader yang pantas diajukan, atau menyadari bahwa siapapun kader mereka tidak akan menang bertarung melawan Ahok di pilkada.
DUA : Ahok mengembalikan gengsi parpol yang 'jatuh' (khususnya di DKI Jakarta) karena dukungan individu yang tidak terduga dalam sikap awalnya yang akan maju secara independen. Â Sikap nothing to lose yang diumbar Ahok sungguh menawan para simpatisannya. Â Ahok sendiri menyatakan dia tidak merasa rugi walaupun pilkada nanti dia tidak dipilih lagi oleh warga DKI ataupun tidak lulus persyaratan KPU. Â Jika Ahok tetap maju dengan dukungan independen dan menang dalam pilkada nanti, maka bisa dipastikan kredibilitas partai politik akan surut (jika tidak bisa dikatakan hancur) dimata masyarakat (khususnya DKI Jakarta) karena berarti Ahok terlah berhasil membuktikan bahwa demokrasi yang dikelola oleh parpol lebih banyak percuma dengan ongkos yang banyak tanpa hasil maksimal ketimbang maju dengan independen namun didukun oleh banyak warga.
TIGA : Ada teori yang menyebutkan bahwa Ahok maju lewat jalur partai karena tahu bahwa jika Ahok tetap maju dari jalur independen, walaupun telah memperoleh dukungan lebih dari satu juta warga DKI, maka KPU akan mengeluarkan 'dekrit' baru yang akan menyempitkan kesempatan Ahok maju dalam independen sehingga ada kemungkinan Ahok akan gagal maju dalam pilkada 2017.  Masalahnya adalah KPU akan nampak disetir oleh parpol yang memiliki aset yang besar karena memberikan aturan-aturan tambahan dan itu akan terbaca jelas oleh para non parisan partai.  KPU menyadari bahwa pengaruh masyarakat dan fenomena sosmed yang demikian besar bisa menjadi trial by socmed bagi KPU sendiri sehingga nantinya bukan tidak mungkin akan terjadi kekisruhan akibat kebijakan KPU.  Ahok sudah melakukan test case dengan menyatakan pengumpulan KTP pendukungnya saat melewati ambang batas minimal, dimana pada saat itu segera bermunculan pendapat yang intinya menghambat Ahok untuk maju dalam tahap selanjutnya.  KPU pun ikut latah dengan menekankan perlunya verifikasi individual dari KTP pendukung Ahok yang terkumpul. Kekhawatiran (atau mungkin kepanikan ? ) parpol telah dibaca oleh Ahok, dan itu menjadi pemikiran Ahok.
EMPAT : Dengan keputusan Ahok maju dengan kendaraan parpol, dengan demikian ada harapan bagi parpol lain untuk dapat ikut 'berpesta demokrasi' dengan mengajukan calon-calon mereka dengan keunggulan-keunggulannya atau jargon-jargon bombastisnya.  Ahok membiarkan penghujatnya berpesta karena keputusannya tersebut.  Kembali lagi Ahok tidak peduli dengan pendapat tersebut dan bahkan tetap tidak ambil pusing akan menang-kalahnya  dalam pilkada kelak.
LIMA :Â Jika pun Ahok kalah dalam 'pertarungan' pilkada kelak, Ahok telah memporak-porandakan pakem para calon yang selama ini mendaftar calon pimpinan daerah dengan menggunakan kendaraan partai politik. Â Istilah mahar yang begitu populer pada tahun kemarin membuat parpol berpikir beberapa kali untuk kembali meminta mahar pada pilkada kali ini. Â Mungkin tetap akan ada parpol yang dengan bolotnya meminta mahar, tapi tidak semassif periode sebelumnya. Â Bagaimanapun parpol yang melarat tapi sok kaya toh masih banyak yang hidup dengan mengandalkan donasi dan Anggaran Pemerintah terhadap kehidupan Parpol.
Proses masih panjang, pertarungan belum lagi pertarungan di ring dalam kampanye. Namun bagaimanapun, Terima kasih Ahok telah memberikan warna baru dalam alam demokrasi Indonesia (baca : DKI Jakarta). Â Semoga proses ini juga dapat menjadi panutan bagi proses demokrasi pemilihan di seluruh wilayah Indonesia....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H