Keadaan hidupnya memang pahit dan mengiris hati. Namun duduk termangu, diam dan meratap pilu adalah seburuk-buruk pilihan. Demikianlah Dede yang tercatat dalam buku tulisnya.
Sebatang pena menancap lalu menggores di halaman sebuah buku tulis. Dede Suhenda (24), adalah pemilik perangkat alat tulis manual itu. Sebagai istri seorang buruh, rasanya mustahil jika dirinya sedang mencatat angka-angka uang yang ia tanam di tangan orang lain. Membuat rancangan gaun mewah untuk dijahit pun kiranya juga tak mungkin. Tepatnya, Dede sedang menyalin kenyataan hidup keluarganya, dengan bahasa dan emosinya sendiri ke dalam buku tulis tersebut.
Sambil sesekali tampak berpikir, lalu menulis kembali, Dede mencoba mengulas kisah lampau hidupnya yang sebetulnya sama saja dengan keadaan hari ini. Beberapa waktu setelah menikah, ia diboyong suami dan tinggal bersama mertua. Seiring waktu berjalan, mengandalkan nafkah dari suami semakin hari dirasa semakin kurang mencukupi. Dede memilih bertani di atas lahan pemberian mertua. Lahan tersebut ia tanami beberapa jenis sayuran untuk dijual. Demikian tulisnya dibagian pembuka.
Kendati mendapat tambahan sumber pendapatan, namun – baginya – masih jauh dari kata cukup. Pasalnya, saat panen tiba, Dede tak menjual hasil panen tersebut secara langsung, melainkan lewat tangan orang lain atau tengkulak. Tengkulak-tengkulak itu membeli hasil panen Dede berselisih 50% dari harga pasar. Kondisi ini tak hanya dialami Dede, tapi terjadi pada semua petani di tempat ia tinggal, di RT.28, Kelurahan Paal Merah, Kota Jambi.
“Kami tetap menanam sayur seperti biasa. Karena walaupun dengan sedikit bayaran, dapat untuk membantu perekonomian keluarga kami,” tulis ibu dua anak itu. Sesulit apapun keadaan, dirinya tetap meyakini satu saat Tuhan akan memberi jalan keluar.
Sepertinya Tuhan punya pesan khusus yang mungkin belum tersirat, bahwa memperbaiki kehidupan tidak semudah melafalkan do’a-do’a. Belum lama ini, aneka tanaman sayur milik Dede, yang – ketika itu – tinggal menghitung hari memasuki masa panen, terpaksa harus dipangkas saat itu juga. Lahan tersebut telah dijual oleh pemiliknya, dan tidak lama lagi akan dijadikan proyek perumahan komersil.
Ternyata, mertua Dede pun menggunakan lahan orang lain, termasuk lahan yang selama ini digarap Dede. “Rumah mertuaku pun dibongkar habis oleh alat berat. Sedih rasanya. Tapi apa mau dikata, namanya juga numpang, ya, harus siap diusir kapan pun,” lanjut Dede.
Singkat cerita, perumahan yang dimaksud, kini tumbuh subur menggantikan benih bayam, sawi, selada, kemangi dan beberapa jenis sayur lainnya yang dulu ditabur Dede di musim tanam. Dirinya yang kini tak lagi berkebun, kembali masuk perangkap dalam ranah yang tak adil, hanya setumpuk tugas-tugas domestik yang bisa ia kerjakan. Perannya kian mengecil dalam membangun keluarga, membesarkan Alika dan Arjuna, anaknya.
Namun kenyataan demikian tak lantas membuatnya terpuruk dalam kesedihan. Perempuan yang memang gemar menulis itu, kini terlibat menjadi pengajar di PAUD yang dulu ia rintis bersama Ibu-ibu seusianya. PAUD itu terletak di kampung tempat ia tinggal. Sebagai pengajar, dirinya hanya mendapat bayaran Rp. 50.000/bulan. Sungguh kecil memang. Tapi menurut Dede, ini bukanlah sebuah pekerjaan, tepatnya hanya mengasuh anaknya sekaligus anak teman-temannya, yang notabene kesulitan mengakses PAUD karena kendala biaya.
Selain terlibat di PAUD, perempuan yang hanya lulus SMP itu juga tergabung di sebuah organisasi perempuan, dimana dirinya juga terlibat dalam masa pembangunan, lagi-lagi di tempat ia tinggal. Organisasi itu bernama SRIKANDI.
Pada mulanya Dede sempat minder mengajar di PAUD karena latar pendidikan yang rendah. Namun teman-teman se-organisasi terus memberi asupan semangat. Tak hanya soal mengajar, namun termasuk juga keluhan-keluhan lain, agar sama-sama dapat memberi ide jalan keluar. “Aku mulai merasa percaya diri karena meraka selalu memberi semangat dan motivasi untukku,” lanjutnya lagi.
Tiga lembar tulisan Dede adalah bagian untuk mengisi Local Woman’s Travelling Journal, sebuah kegiatan yang dibuat oleh Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI) dan organisasi-organisasi jaringan internasional. Salah satu mitra dalam kegiatan tersebut adalah
Bentuk kegiatan ini adalah pendokumentasian cerita yang ditulis oleh perempuan Asia mengenai perjalanan hidup, perjuangan, baik seputar kemiskinan, kesehatan, pendidikan, termasuk masalah-masalah pangan. “Untuk Indonesia kegiatan ini dilaksanakan di lima Provinsi, yaitu Riau, Jambi, Jawa Timur, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur,” kata Zubaidah, Koordinator Beranda Perempuan Jambi dalam press release yang ia tulis pada hari Kamis, (23/8).
Setelah tulisan-tulisan perempuan ini terkumpul, maka akan diolah dan dibagikan ke masyarakat secara luas maupun ke para pembuat kebijakan, untuk meningkatkan kesadaran megenai keadaan perempuan dan tuntutan kedaulatan pangan. “Jurnal keliling ini juga akan dibawa ke markas Komite Ketahanan Pangan Dunia (FAO) di Roma pada Oktober mendatang, dalam rapat FAO ke 41,” lanjut Zubaidah.
Mengingat nama kegiatan ini adalah jurnal keliling, maka tak menutup kemungkinan cerita hidup semacam Dede kembali ditemukan pada tulisan perempuan-perempuan lainnya. Sekedar informasi, rekan se-organisasi Dede, ada lima orang yang masuk dalam daftar permintaan untuk mengisi jurnal tersebut, dengan kisah hidup dan pikiran masing-masing yang beragam. Dan tentunya sangat menarik untuk disimak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI