Pesta demokrasi harusnya dapat membuka akses lebih luas bagi keberagaman yang dipahami, mengingat negara tak boleh menghilangkan hak politik setiap warga negaranya.
Akhir-akhir ini, noken menjadi topik hangat melengkapi ramainya perjalanan penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Pasalnya, sistem pemungutan suara dengan mekanisme khusus bagi masyarakat adat Papua ini ikut diseret oleh kubu Prabowo-Hatta dalam gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Di Provinsi Papu Barat, terdapat kecurangan bersifat terstruktur, sistematis dan massif (TSM), dimana pejabat daerah dan para kepala suku dengan sengaja melakukan upaya memenangkan pasangan lawan. Demikian kiranya pernyataan yang termuat dalam berkas permohonan sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Pilpres 2014 yang disusun oleh Tim Advokad pasangan Capres dan Cawapres nomor urut satu tersebut. Walhasil, terdapat selisih sungguh fantastis pada sembilan kabupaten di Provinsi tersebut, salah satunya akibat penggunaan sistem noken ini.
Gugatan itu sontak mendapat protes dari Diben Elabi, salah seorang warga yang tinggal di pegunungan Papua, tempat dimana sistem itu diberlakukan."SBY pimpin negeri ini 2 periode. Suara beliau zaman dia mutlak, sama seperti Jokowi sekarang, pemilihan sama, noken juga. Mulai pemilihan DPRD sampai gubernur begitu," kata Diben dalam keterangan persnya di Galeri Cafe, Jakarta Pusat, Selasa (5/8/2014), dikutip liputan6.com.
Pada kesempatan sama, Diben juga mengalamatkan pernyataan sangat keras kepada pasangan nomor urut satu dan tim pembelanya. “Kalau sudah kalah, jangan usik-usik budaya orang lain. Karena Anda tidak mengerti budaya Papua," sambungnya.
Harusnya, sistem noken tak lagi layak dijadikan perdebatan. Karena, MK telah memutuskan bahwa sistem ini adalah mekanisme yang sah dalam pemilu. Hal ini termuat dalam putusan Nomor 47-48/PHPU.A-VI/2009 tentang Mekanisme Penggunaan Sistem Noken di Papua pada 9 Juni 2009.
Dari berbagai informasi yang terserak, dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pemberian suara, yang diambil dari nama kantong/tas tradisional masyarakat adat Papua tersebut, merupakan ciri khusus dari kebudayaan tertentu dan memiliki nilai luhur yang dipegang teguh oleh penganutnya. Dengan ini, maka putusan MK diatas merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadapnya. Kendati menurut Yance Arizona, pengakuan tersebut masih parsial dan belum menyentuh problem pokok yang hingga kini masih dialami masyarakat adat, yakni pengakuan negara atas wilayah hidupnya.
Namun pada akhirnya, pengajar Program Studi Hukum President University, Cikarang itu menilai baik putusan pengakuan yang dibuat MK tersebut. “Meskipun demikian, putusan ini patut diapresiasi sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh MK untuk mengembangan instrumen hukum bagi pengakuan hak-hak masyarakat adat,” tulisnya dalam Konstitusionalitas Noken: Pengakuan Dalam Pemilihan Masyarakat Adat Dalam Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia.
Lebih lanjut, Yance bahkan menilai keputusan tersebut merupakan langkah progresif yang ditempuh oleh MK. “Putusan MK juga dikatakan progresif karena putusan ini merupakana putusan pertama yang dikeluarkan oleh MK dalam pengakuan terhadap hak masyarakat adat,” tulisnya lagi, pada bagian penutup dalam tulisan tersebut.
Baiknya, perlu ditela’ah lebih dalam sebelum sistem noken dipersoalkan, apa lagi harus dihadap-hadapkan dengan mekanisme hukum yang berlaku. Betapa tidak, sistem hukum kita masih menyisakan banyak PR menyangkut pengakuan hak masyarakat adat dalam banyak aspek, mulai dari aspek ekonomi, politik maupun budaya. Terlalu cepat mempersoalkan noken menjadi sebuah pelanggaran, karena dia adalah wujud dari kebhinekaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H